We Found Love in A Hopeless Place -- @Aulhowler

    Author: AOmagz Genre: »

    Oleh : Aul Howler


            “Dompet udah? Tiket? Handphone?”
    “Udah semua kok, Ma”
    “Jangan lupa nyalain GPS handphone ya. Segera telepon kalau nyasar. Terus kalau Kamu tiba-ti....”
    “IYA MA. YA AMPUN AKU UDAH DELAPAN BELAS TAHUN”

    Mama terkekeh geli. Kebiasaan buruknya itu ya, begitu. Kalau aku akan pergi sendiri ke suatu tempat, bahkan walaupun hanya ke rumah teman atau sahabat, kekhawatirannya cenderung berlebihan. Salahku juga sih, kenapa mau dilahirkan sebagai perempuan. Dan kenapa harus lahir di urutan terakhir.

    “Tanda sayang,” kata mama selalu setiap kali aku mengeluh kenapa harus diberi perhatian terlalu banyak. Bukannya tidak bersyukur atau apa. Tapi kakak-kakakku tak pernah mendapatkan kesulitan bila menyangkut kepergian atau keselamatan. Mereka bisa pergi ke mana saja yang mereka mau. Kapan pun. Selama apapun. Enak betul.

    “Pergi dulu, Ma!” ujarku sambil melangkah masuk ke taksi yang sudah menunggu sedari tadi. “Nanti Aku kabarin kalo udah sampai”
    “Hati-hati ya, Laura. Segera hubungi Mama kalau supir taksi nya bertindak mencurigakan atau me...”
    “JALAN PAK. BURUAN”

          Ya ampun mama.

    ----------------------------------------

    [Rena]: Mungkin gara-gara Elo belum punya pacar?

    Balas rena di BBM ku. Ini sudah kesekian kalinya aku bercerita padanya soal kekhawatiran Mama yang selalu diluar kewajaran. Dan ini juga sudah kesekian kalinya Rena mencoba menerka apa alasan Mama. Tapi yang ini konyol.

    [You]: Ya kali. Doain aja deh gue segera dapet satu sepulang dari sini. Yang ganteng, banyak duitnya dan kemana-mana pake kuda putih.
    [Rena]: Hahaha enak aja. Itu kan tipe gue!!
    [You]: Siapa cepat dia dapat. Haha :p

    Bus yang aku dan peserta lain tumpangi masih belum bergerak. Biasa, macet. Ini sudah hampir satu jam dan belum juga ada tanda-tanda kendaraan ini akan melaju lagi. Aku sudah memutar hampir seluruh lagu di Mp3 Player-ku, sudah menghabiskan dua bungkus coklat ukuran medium dan sebotol air mineral. Tapi tak ada efek. Semuanya mulai terasa membosankan.

    Di luar sudah mulai terlihat laut. Berarti mungkin sudah tak jauh lagi dari lokasi pelabuhan. Ya, saat ini aku dan sembilan belas orang lainnya menjadi peserta liburan di kawasan pulau lombok karena berhasil mengisi kuis Teka-teki Silang di sebuah majalah. Sebanyak 20 orang berhasil menjawab dengan nilai sempurna dan berhak memenangkan tiket. Konyol memang. Sejujurnya akan lebih keren bila tiket liburan ini didapat dari lomba cerpen atau sayembara novel atau kompetisi design. Teka-teki silang terdengar purba di zaman gadget ini.

    “BUAHAHAHAHAHA!!!”

    Sebuah tawa keras yang memekakkan telinga tiba-tiba meledak dari bangku sebelahku. Aku terlonjak kaget. Orang itu pun terlonjak kaget. Sebentar ia kelihatan panic, sambil celingak-celinguk mencari-cari di mana suara tawa itu berasal dan ia kelihatan pucat saat mengetahui bahwa itu suara alarm ponselnya.

    Kurang kerjaan.

    Kemudian ia menoleh dengan gesture minta maaf kepada semua orang yang sedang memperhatikannya. Memang hampir semua orang yang ada di dalam bus menatapnya penuh tanda tanya. Orang sinting, barangkali begitu isi kepala mereka.

    “Maaf ya, Mbak. Saya nggak bermaksud mengganggu.” bisiknya padaku.
    “Oh ya? Tapi yang barusan mengganggu banget lho, Mas.”
    “Iya Mbak, maaf. Saya dikerjain teman Saya. Saya sendiri juga kaget.”
    “Oooh..”

    Lelaki di sampingku masih kasak-kusuk mengutak-atik isi ransel nya. Lalu berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan menutup mukanya dengan sapu tangan. Tipikal orang kantoran. Kaku, kikuk, mungkin juga sedikit culun.

    “Kok bisa dikerjain segala?” tanyaku iseng. Rasanya mau mati karena bosan. Mungkin sedikit ngobrol bisa membuatku terhibur. Walaupun sebenarnya orang di sebelahku ini tak kelihatan seperti orang yang bahan obrolannya akan menghibur. Atau jangan-jangan ia malah akan membuatku semakin bosan? Sial. Aku menyesal telah bertanya.

    “Entahlah. Mungkin agar Saya sedikit lebih ceria?” ujarnya sambil menyeka keringat. “Menurutnya Saya terlalu pendiam, kurang ekspresif atau semacam itulah.”
    “Memang,” bisikku pelan sambil nyengir.
    “Masa?”
    “Nggak. Cuma bercanda.”
    “Oh, gitu.” Ucapnya datar.
    “Nah, kan? Emang bener!” tawaku meledak.
    Ia tersenyum kecut. “Maaf. Saya salah jawab ya?”

    “BUAHAHAHAHAHA”

    Tawaku meledak makin keras. Kemudian sebelum semua orang melihat ke arahku dan berbisik “Orang sinting” di kepala mereka, segera kudekap mulutku.

    Lalu kami berkenalan. Umurnya ternyata hanya setahun di atasku. Namanya Abdi Kuncoro. Ya ampun, nama yang sungguh cocok. Formal. Resmi. Kaku. Tipikal orang-orang yang bekerja memakai dasi dan jas, paginya minum kopi dan roti tawar, malamnya lembur dengan setumpuk dokumen.

    Menurutnya, teman-teman di kantornya lebih fleksible daripada dirinya. Di waktu senggang, teman-temannya hobi hura-hura di karaoke atau kafe, sementara ia lebih suka membaca di perpustakaan kantornya. Teman-temannya suka jalan-jalan di akhir pekan, dan ia lebih suka di kontrakannya, menulis esai atau artikel ilmiah. Atau bila sedang tak ingin di rumah ia bersepeda keliling kota. Poin yang terakhir boleh lah, tapi yang lainnya terlalu parah. Aku curiga sebenarnya dia ini robot atau apa.

    Teman-temannya sering mengerjai nya agar ia sedikit lebih santai. Tidak terlalu serius dalam segala hal dan menjalani hari dengan lebih “berwarna”. Dan lelucon alarm tawa tadi adalah salah satunya. Menarik juga, pikirku. Mungkin saat di pulau nanti aku bisa mengerjainya dengan beberapa lelucon. Lalu bayangan kepiting, ubur-ubur, seafood dengan merica ekstra pedas dan lain-lain berkelebat di benakku. Tanpa sadar aku tersenyum.

    “Apanya yang lucu?” tegurnya pelan.
    “Kamu,”
    “Aku?”
    “Hahaha. Lupain aja.”

    Kemudian giliran aku yang bercerita. Tentang kuliahku yang tinggal satu semester lagi, tentang hobi mengoleksi batu yang sudah kujalani sejak kelas dua SD, tentang kebiasaan burukku yang tidak bisa diam, dan soal bagaimana aku bisa memenangkan hadiah tiket liburan ini.

    “Mengoleksi batu?” ujarnya mengerutkan dahi.  Kemudian ia melepas kacamata nya dan kembali mengelap keringat.
    “Iya. Bukan batu-batu biasa di jalanan lho, ya. Batu-batu sungai yang warna nya cantik”
    “Hobi yang aneh” bisiknya sambil tersenyum.
    Wow. Orang ini lumayan ganteng juga ternyata.
    “Asyik lho”
    “Masa?”
    “Iya. Duhh, Kamu jangan terlalu lurus dong. Sekali-kali harus mencoba hal-hal aneh. Minimal kamu jadi bisa tau lebih banyak dan pandangan kamu bakal lebih luas. Percaya deh!”

    Abdi mendadak diam. Sesaat ia menatap ke arah jendela di samping nya. Aku jadi salah tingkah. Apa aku sudah membuatnya tersinggung?

    “Aku salah ngomong, ya?”
    “Nggak kok,” bisiknya. “Mungkin Kamu ada benarnya. Rasanya selama ini aku terlalu lurus.”
    “Maksudnya?”

    “Yah..” ia menatapku dalam. “Sejujurnya, yang ada dalam pikiran ku selama ini hanyalah obsesi untuk menjadi orang normal berprestasi. Juara di sekolah, nilai IPK bagus, gelar yang sulit dicapai orang lain, pekerjaan yang sempurna dengan gaji tinggi. Semuanya sesuai dengan kehendak orang tuaku. Dan… entah kenapa kok akhir-akhir ini rasanya mulai membosankan.”

    “Sabar,” ujarku sembarangan sambil menatap langit-langit bus. “Kalau Kamu mau, Aku mungkin bisa membantu lho. Maksudku, supaya kamu nggak terlalu lurus lagi jadi orang. Hidup ini nggak akan indah kalau cara hidup kamu kayak gitu.”
    “Serius?”
    “Iya.”
    “Thanks” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Ini pertama kalinya lho, Aku curhat sama orang asing”

    Wow. Orang ini lebih dari sekedar ganteng ternyata.

    “Eh kita kan udah kenalan! Haha”
    “Iya sih,” Ujarnya sambil kembali mengenakan kacamata.
    “Tunggu deh,” segera kuambil kacamata nya. “Pelajaran pertama, mending kamu ganti kacamata norak ini sama contact lens.”
    “Karena?”
    “Kacamata itu bikin kamu kayak orang kantoran zaman 80-an. Haha”

    Tak lama bus yang kami tumpangi kembali bergerak. Syukurlah. Namun sebenarnya aku sudah tak keberatan lagi bila kemacetan tadi berlangsung lebih lama. Toh, aku baru menemukan Abdi. Aku tak lagi merasa bosan.

    Tiba-tiba handphone ku berbunyi.

    [Rena]: Lauraaaa! Barusan gue ditembak Alex!
    [You]: Congrats naa! Eh gue juga ketemu seseorang nih. Doain jadi yah aha
    [Rena]: Siapa?
    [You]: Yang ganteng, banyak duitnya dan kemana-mana pake kuda putih. Pas banget sama yang gue inginkan hehe. Eh nggak ding, dia nggak pake kuda. Pake sepeda katanya hahaha

    2 Responses so far.

    1. Unknown says:

      Semoga Abdi dan Laura pacaran. Yeaaayyy..

    2. pakresky says:

      ASS..WR.WB.SAYA pak resky TKI BRUNAY DARUSALAM INGIN BERTERIMA KASIH BANYAK KEPADA EYANG WORO MANGGOLO,YANG SUDAH MEMBANTU ORANG TUA SAYA KARNA SELAMA INI ORANG TUA SAYA SEDANG TERLILIT HUTANG YANG BANYAK,BERKAT BANTUAN AKI SEKARAN ORANG TUA SAYA SUDAH BISA MELUNASI SEMUA HUTAN2NYA,DAN SAWAH YANG DULUNYA SEMPAT DI GADAIKAN SEKARAN ALHAMDULILLAH SUDAH BISA DI TEBUS KEMBALI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN EYANG WORO MANGGOLO MEMBERIKAN ANGKA RITUALNYA KEPADA KAMI DAN TIDAK DI SANGKA SANGKA TERNYATA BERHASIL,BAGI ANDA YANG INGIN DIBANTU SAMA SEPERTI KAMI SILAHKAN HUBUNGI NO HP EYANG WORO MANGGOLO (082-391-772-208) JANGAN ANDA RAGU ANGKA RITUAL EYANG WORO MANGGOLO SELALU TEPAT DAN TERBUKTI INI BUKAN REKAYASA SAYA SUDAH MEMBUKTIKAN NYA TERIMAH KASIH
      NO HP EYANG WORO MANGGOLO (082-391-772-208)
      BUTUH ANGKA GHOIB HASIL RTUAL EYANG WORO MANGGOLO
      DIJAMIN TIDAK MENGECEWAKAN ANDA APAPUN ANDA MINTA INSYA ALLAH PASTI DIKABULKAN BERGAUNLAH SECEPATNYA BERSAMA KAMI JANGAN SAMPAI ANDA MENYESAL

    Leave a Reply

    Thanks for reading! Leave your responses here :)

    Tentang AOMAGZ

    AOMAGZ adalah sebuah online magazine. Tapi bukan majalah berita, majalah resep atau majalah fashion. AOMAGZ adalah majalah spesialis cerita : Cerpen, Cerbung, Flash Fiction, Serial, Dongeng, Cerita Anak dan lain-lain. Jelajahilah AOMAGZ sesuka hati kamu karena ada cerita baru setiap harinya (kecuali weekend). Enjoy!

    Readers



    Follow Us On Twitter Photobucket


    Guestbook