Oleh : AuL
Gerombolan penonton di lapangan masih diam, mengunci rapat bibir mereka agar tak mengeluarkan kata sepatahpun. Tak ada yang berani berkedip, apalagi bergerak. Beberapa tubuh mulai basah, bersimbah keringat dipanggang matahari dan suasana tegang yang begitu kentara.
Junn masih berdiri termangu: menundukkan kepala tak jauh dari Alev dan kawanannya. Peristiwa beberapa menit lalu membuatnya sedikit shock, tak bisa bicara dan tak kuasa bergerak.
“Bagaimana?” Alev memecah kesunyian.
Junn masih tak bersuara. Ia berusaha menengadahkan kepalanya, menatap Alev dengan tatapan pantang menyerah. Hal yang semakin menggetarkan hati Alev: Junn begitu berani, mengingat dia hanya junior, apalagi wanita.
Dan peristiwa berikutnya sangat mengejutkan, membuat tak ada yang bisa menahan diri untuk tidak menjerit atau menarik nafas ketakutan. Junn menggenggam ujung bajunya, bergerak seolah-olah hendak membukanya.
“KYAAAAA...!!!”
“Tidak... Jangan...!”
“Minta maaf saja cepaat!”
Suasana begitu gaduh, seperti suasana unjuk rasa atau kampanye. Alev berusaha tersenyum, menikmati kemenangannya. Sebentar lagi kubalas, sebentar lagi, sebentar lagi. Pikirnya.
Junn mulai membuka satu kancing terbawah seragamnya. Kegaduhan melenyap lagi, kembali berganti ketegangan. Beberapa murid laki-laki menutup wajahnya dengan tangan, tak kuasa menyaksikan. Dan dari tengah penonton, Riri roboh: pingsan, untung saja dipapah murid-murid wanita lainnya.
Junn masih berdiri termangu: menundukkan kepala tak jauh dari Alev dan kawanannya. Peristiwa beberapa menit lalu membuatnya sedikit shock, tak bisa bicara dan tak kuasa bergerak.
“Bagaimana?” Alev memecah kesunyian.
Junn masih tak bersuara. Ia berusaha menengadahkan kepalanya, menatap Alev dengan tatapan pantang menyerah. Hal yang semakin menggetarkan hati Alev: Junn begitu berani, mengingat dia hanya junior, apalagi wanita.
Dan peristiwa berikutnya sangat mengejutkan, membuat tak ada yang bisa menahan diri untuk tidak menjerit atau menarik nafas ketakutan. Junn menggenggam ujung bajunya, bergerak seolah-olah hendak membukanya.
“KYAAAAA...!!!”
“Tidak... Jangan...!”
“Minta maaf saja cepaat!”
Suasana begitu gaduh, seperti suasana unjuk rasa atau kampanye. Alev berusaha tersenyum, menikmati kemenangannya. Sebentar lagi kubalas, sebentar lagi, sebentar lagi. Pikirnya.
Junn mulai membuka satu kancing terbawah seragamnya. Kegaduhan melenyap lagi, kembali berganti ketegangan. Beberapa murid laki-laki menutup wajahnya dengan tangan, tak kuasa menyaksikan. Dan dari tengah penonton, Riri roboh: pingsan, untung saja dipapah murid-murid wanita lainnya.
“Hentikaaaaaaann...!!!”
Sebuah suara dari pinggir lapangan melengking panjang. Junn melirik asal suara, dan tersenyum kecut – Zhafif mengacungkan telunjuk ke arah Alev, melepaskan sweater yang menutupi mukanya – Mungkin ini yang tadi dimaksud ketua OSIS itu sebagai bantuan?
Alev membelalakkan matanya. Jauh di lubuk hatinya ia gentar, mengingat jabatan dan kekuasaan Zhafif lebih darinya. Sayangnya, ia terlanjur emosi dan tak bisa berpikir dengan kepala dingin. Ia memanas.
Sebuah suara dari pinggir lapangan melengking panjang. Junn melirik asal suara, dan tersenyum kecut – Zhafif mengacungkan telunjuk ke arah Alev, melepaskan sweater yang menutupi mukanya – Mungkin ini yang tadi dimaksud ketua OSIS itu sebagai bantuan?
Alev membelalakkan matanya. Jauh di lubuk hatinya ia gentar, mengingat jabatan dan kekuasaan Zhafif lebih darinya. Sayangnya, ia terlanjur emosi dan tak bisa berpikir dengan kepala dingin. Ia memanas.
“Nggak usah sok pahlawan lagi, Zhaf!”
Zhafif mendekat, “Gue nggak sok pahlawan Lev. Tapi ini emang udah keterlaluan. Sebaiknya hentikan!”
Alev semakin panas. Ingatannya tentang berada di bawah bayang-bayang Zhafif selama ini membuatnya muak. Dan kemuakannya memuncak, “Ini urusan gue, Zhaf! Lo nggak usah ikut campur!”
Zhafif tak menghiraukan perkataan Alev. Ia meraih lengan baju Junn, lalu menariknya. Membuat Junn terseret, berubah posisi ke belakang Zhafif.
“Gue ketua OSIS. Dan semua ini termasuk tanggung jawab gue!”
“Berhenti membanggakan diri sebagai ketua OSIS! Ini nggak ada hubungannya!”
“Ada!”
“Lo nggak bisa Zhaf!”
“Harus bisa!” Zhafif menentang.
Zhafif mendekat, “Gue nggak sok pahlawan Lev. Tapi ini emang udah keterlaluan. Sebaiknya hentikan!”
Alev semakin panas. Ingatannya tentang berada di bawah bayang-bayang Zhafif selama ini membuatnya muak. Dan kemuakannya memuncak, “Ini urusan gue, Zhaf! Lo nggak usah ikut campur!”
Zhafif tak menghiraukan perkataan Alev. Ia meraih lengan baju Junn, lalu menariknya. Membuat Junn terseret, berubah posisi ke belakang Zhafif.
“Gue ketua OSIS. Dan semua ini termasuk tanggung jawab gue!”
“Berhenti membanggakan diri sebagai ketua OSIS! Ini nggak ada hubungannya!”
“Ada!”
“Lo nggak bisa Zhaf!”
“Harus bisa!” Zhafif menentang.
Alev tak bisa menahan diri lagi. Sebuah pukulannya melayang, menghantam pipi kiri Zhafif. Zhafif terjatuh, lalu berdiri lagi. Ia masih bisa berpikir, untuk tidak membalas.
Alev terlihat puas. Kenyataan bahwa Zhafif tak berani membalas pukulannya membuatnya merasa berada di atas angin. “Gue udah bilang Zhaf, ini bukan urusan Lo!”
“Ini juga urusan Gue!” Zhafif belum menyerah.
Alev diam, memikirkan strategi apa yang harus dilakukannya agar ia menang. Mendadak ia menyeringai, “Jadi Lo masih mau membela anak baru ini?”
“Ya”
“Kalau begitu Lo yang gantikan. Telanjang sekarang juga!”
Alev semakin puas. Biarlah rencananya membalas Junn batal. Yang penting sekarang adalah ketua OSIS yang selama ini meresahkannya itu. Bila Zhafif melakukan hal yang memalukan, bukan tak mungkin semua murid akan marah dan kecewa. Dengan demikian, jabatannya akan dilepas, dan posisinya sebagai ketua OSIS bisa digantikan orang lain, termasuk dirinya!
Zhafif mulai membuka seragamnya. Penonton kembali gaduh berkomentar tak karuan, walaupun tak segaduh sebelumnya. Paling tidak, Zhafif laki-laki, dan buka baju bukanlah masalah. Daripada Junn yang harus melakukannya.
Saat Zhafif hendak melepas kaosnya dalamnya, sebuah suara yang berat terdengar dari mikrofon. “Alev, Zhafif dan anggota OSIS lainnya diharap segera menuju ruang OSIS sekarang juga. Ini perintah langsung dari kepala sekolah dan wakil kesiswaan!”
Tak tergambarkan kelegaan yang terjadi saat Zhafif, Alev dan kawanannya meninggalkan lapangan menuju ruang OSIS. Penonton segera berhamburan ke depan lapangan, menyambut Junn. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan mengucapkan selamat. Sorakan dukungan dan ucapan selamat melimpah ruah, menyirami Junn yang akhirnya bisa ikut tersenyum lega. “Alhamdulillah,” bisiknya.
Siang semakin panas. Tapi Junn merasakan kesejukan, hingga ke relung hatinya. Ia yakin, Zhafif lah yang mengadukan peristiwa barusan kepada kepala sekolah dan wakil kesiswaan. Bantuan yang dijanjikan untuknya, untuk keselamatannya.
Ia tersenyum lagi, saat menuju UKS melihat keadaan Riri. Dadanya berdebar-debar, mengingat apa yang telah dilakukan ketua OSIS untuknya. Ketua OSIS yang telah dua kali menyelamatkannya. Dan perasaanya meluap-luap. Ada denganku? Batinnya bingung.
Alev terlihat puas. Kenyataan bahwa Zhafif tak berani membalas pukulannya membuatnya merasa berada di atas angin. “Gue udah bilang Zhaf, ini bukan urusan Lo!”
“Ini juga urusan Gue!” Zhafif belum menyerah.
Alev diam, memikirkan strategi apa yang harus dilakukannya agar ia menang. Mendadak ia menyeringai, “Jadi Lo masih mau membela anak baru ini?”
“Ya”
“Kalau begitu Lo yang gantikan. Telanjang sekarang juga!”
Alev semakin puas. Biarlah rencananya membalas Junn batal. Yang penting sekarang adalah ketua OSIS yang selama ini meresahkannya itu. Bila Zhafif melakukan hal yang memalukan, bukan tak mungkin semua murid akan marah dan kecewa. Dengan demikian, jabatannya akan dilepas, dan posisinya sebagai ketua OSIS bisa digantikan orang lain, termasuk dirinya!
Zhafif mulai membuka seragamnya. Penonton kembali gaduh berkomentar tak karuan, walaupun tak segaduh sebelumnya. Paling tidak, Zhafif laki-laki, dan buka baju bukanlah masalah. Daripada Junn yang harus melakukannya.
Saat Zhafif hendak melepas kaosnya dalamnya, sebuah suara yang berat terdengar dari mikrofon. “Alev, Zhafif dan anggota OSIS lainnya diharap segera menuju ruang OSIS sekarang juga. Ini perintah langsung dari kepala sekolah dan wakil kesiswaan!”
Tak tergambarkan kelegaan yang terjadi saat Zhafif, Alev dan kawanannya meninggalkan lapangan menuju ruang OSIS. Penonton segera berhamburan ke depan lapangan, menyambut Junn. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan mengucapkan selamat. Sorakan dukungan dan ucapan selamat melimpah ruah, menyirami Junn yang akhirnya bisa ikut tersenyum lega. “Alhamdulillah,” bisiknya.
Siang semakin panas. Tapi Junn merasakan kesejukan, hingga ke relung hatinya. Ia yakin, Zhafif lah yang mengadukan peristiwa barusan kepada kepala sekolah dan wakil kesiswaan. Bantuan yang dijanjikan untuknya, untuk keselamatannya.
Ia tersenyum lagi, saat menuju UKS melihat keadaan Riri. Dadanya berdebar-debar, mengingat apa yang telah dilakukan ketua OSIS untuknya. Ketua OSIS yang telah dua kali menyelamatkannya. Dan perasaanya meluap-luap. Ada denganku? Batinnya bingung.
(Bersambung)
*Telah dimuat di koran SINGGALANG edisi Desember 2010, terbit dan beredar di Sumatra Barat :))
hmmm ... masih stereotipe sinetron Indonesia nih Aul, eh yang serial Yogi gg dimasukin kesini ? nice job keep writing ^^
itu kok kejem bgt masak cewek disuruh buka baju ? 0.o but overall nice ^^ *nggak pinter kommen-_-*