oleh: Alivia Alwin
Bagimu, kopi tak sekedar minuman pahit. Bukan pula sekedar minuman penuh kafein yang membantumu mengerjakan tulisan kejar tayang. Bagimu, kopi adalah minuman filosofis.
Espresso
"Pahit," ucapku setelah mencecap kopi hangat hitam legam dari cangkirmu. Garis bibirmu tertarik, membentuk seulas senyum samar sembari tetap berkutat dengan laptop hitam kesayanganmu. Jarimu masih menari-nari di atas keyboard, menulis profil pejabat yang baru saja kau wawancarai.
"Sebegitu pahitkah?" tanyamu tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopmu. "Kau tahu, Dri? Espresso adalah jenis minuman kopi paling dasar. Hanya biji-biji kopi yang diseduh dengan air panas pada mesin brewing. Tidak ada gula, dan aku tak suka menambahkan apapun pada kopi hitam ini."
"Dan aku tak tahu mengapa kau tetap membeli minuman yang ukurannya hanya sekecil cangkir teh di rumahku ini. Harganya lumayan menguras kantong, Dri," ketusku tak peduli.
"Karena," katamu. Kini matamu menatapku dalam, alih-alih menatap layar laptop yang sedari tadi kau pandangi. "Kopi hitam ini pahit, Dri. Membuatku tetap ingat bahwa kehidupan tak selamanya manis. Namun juga ada rasa pahit didalamnya. Seperti segelas espresso tanpa gula."
Caffe Latte
Hari ini kau mengajakku mengunjungi kedai kopi yang baru saja buka di pusat kota. Katamu, kedai kopi itu milik kawan lamamu yang baru saja pulang ke tanah air. Aku mengikut saja. Toh, hari ini kau berjanji membayar tagihannya nanti.
"Dri, segelas caffe latte kurasa cocok untukmu hari ini," katamu sebelum aku sempat memesan satu jenis minuman pun dari daftar menu.
"Apa ada alasan khusus?" tanyaku, sebelum memesan segelas caffe latte rekomendasinya pada barista yang berjaga di mesin kasir.
"Kau tahu, caffe latte adalah espresso yang dicampur dengan susu dan sedikit foam," katamu sembari membayar tagihan dan memberikanku segelas caffe latte yang dikemas dengan gelas kertas berukuran medium. "Akibatnya, kopi ini memiliki kombinasi rasa pahit dan manis. Seperti kehidupan. Ada kebahagiaan dan kesedihan. Caffe latte adalah pengingat dariku agar kau tak selalu memandang ke atas, Dri."
Aku hanya tersenyum sembari menyeruput caffe latte yang kau pesan. Kau benar, Dri. Kopi ini mengingatkanku pada kehidupan
Cappucino
Hari ini kau aneh sekali, Dri. Kita hanya akan pergi minum kopi sore ini di tempat biasa, tapi kau berdandan rapi sekali. Celana jeans belel-mu sudah kau ganti dengan celana jeans hitam yang hanya kau pakai untuk pesta pernikahan. Kaus longgar yang biasa kau pakai kuliah berganti dengan kemeja biru langit yang entah kapan terakhir kau pakai. Aku pun terpaksa berganti busana, mencocokkan diri dengan pakaian yang kau kenakan
"Dri, hari ini biar aku yang memesan, kau tunggu saja di meja itu," katamu sembari menunjuk sebuah meja dekat jendela. Aku hanya mengangkat bahu, berusaha tak peduli dengan sikap anehmu meski aku sangat penasaran dan menuju meja yang kau tunjuk. Meja itu hanya memiliki dua kursi yang saling berhadapan. Dari jendela itu aku bisa melihat laut terbentang dengan matahari sore yang mulai tenggelam. Bukankah kau lebih suka duduk di smoking area dengan empat kursi di mejanya, Dri?
"Dri," katamu sembari menarik kursi. "Apa yang kau dapat dari segelas kopi?"
"Angin apa yang membuatmu bertanya seperti itu, Dri?" kataku. Sekelebat aku merasa perutku dipenuhi kupu-kupu
"Hanya bertanya."
Aku menghela napas, menggeser tubuhku agar mendapat kenyamanan dari kursi kayu yang kududuki. "Kopi espresso yang biasa kau minum setiap kali menulis penuh dengan kafein, tanpa gula, dan cangkir yang kecil. Kupikir, espresso adalah perwakilan dari kepahitan hidup. Espresso diminum dengan cara disesap pelan-pelan, seperti kehidupan yang harus dijalani pelan-pelan. Tanpa buru-buru. Caffe latte yang terakhir kuminum disajikan dalam gelas medium, rasanya kombinasi pahit dan manis. Meski begitu, caffe latte memiliki cita rasa nikmat yang khas. Seperti hidup, yang juga kombinasi kebahagiaan dan kesedihan. Bukankah tiap kita memiliki kisah hidup yang berbeda pula?"
Kau tersenyum, lalu menutup mata dan menyandarkan badanmu pada sandaran kursi. Sedetik pun kau tak membuka mata hingga seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi yang sudah kau pesan kepada barista tadi.
"Kopimu yang ini, Dri." Kau menyodorkan segelas kopi dengan foam dan taburan cinnamon yang membentuk sebaris kata: Je t'aime.
"Kupikir, mahasiswi sastra Perancis pasti tahu arti kata ini," katamu.
Dri, kupikir aku berhenti bernapas...
Berkelas...
Melongo abis baca cerpen ini... 0_o