Oleh: A S Oktriwina
Udara musim gugur menyapaku ketika menjejakkan kaki di Bandara Interansional Narita, sejuk dan nyaman. Aku bersyukur memilih tanggal yang tepat untuk mengunjungi Jepang. Tanganku menyeret koper kecil sambil memperhatikan para penjemput. Dengan mudah kutemukan seorang wanita muda menggenggam karton bertuliskan ‘Welcome Back to Japan, Myra’ sambil meneriakkan namaku. Setengah berlari kutubruk tubuh ringkihnya, melepas rasa rindu.
Kembali ke Jepang, aku merasa lari dari masalah. Sama seperti dulu, ketika kakakku meninggal dan keluargaku pecah, aku melarikan diri ke Jepang. Disinilah aku bertemu dengan Reika Sato, sahabatku, dan seseorang, yang menghantui pikiranku setahun belakangan ini.
“Apa yang kau pikirkan, Myra?” aku tersentak, mendapati Reika yang berdiri tepat di belakangku. “Iie, aku hanya teringat sesuatu” Dia tersenyum, meraihku dalam pelukan hangatnya. “Jangan pikirkan yang macam-macam” katanya sambil memelukku. “Makan malam sudah siap, tapi kalau kau mau makan nanti, akan ku sisihkan punyamu” aku hanya tersenyum, mengisyaratkan keenggananku.
Aku menatap keindahan rembulan yang bersinar sangat terang. Entah mengapa aku merasa beruntung tiba disaat yang tepat. Musim gugur yang bersahabat, rembulan yang bersinar indah, sungguh tempat dan suasana yang tepat untuk menenangkan diri.
“Kau datang disaat yang tepat, bisa melihat bulan yang indah begini” sebuah suara mengagetkanku. Seorang lelaki telah berdiri di belakangku, entah sejak kapan. Aku bahkan tidak ingat apakah aku mengenalnya.
“Eh? Kau memperhatikanku sejak tadi?” tanyaku. Entah mengapa aku merasa mengenalnya, meski aku tidak tahu siapa dia. Dia tersenyum, “Kau lupa padaku, Myra-san?” Seketika aku kembali ke masa lalu.
Aku melewati jalanan dalam diam dan guyuran hujan. Payung milikku kubiarkan menggantung di ranselku. Tatapan aneh orang-orang yang melihatku pun tak aku hiraukan. Biarlah, toh dengan hujan takkan ada yang melihatku menangis.
“Hei, apa yang kau lakukan?” Aku mendongak, menatap lelaki yang tengah menatapku dari balkon apartemennya. “Bukan urusanmu!” bentakku. Aku mengira ia akan masuk ke dalam dan tak mau tahu urusanku lagi. Tapi tidak, dia berdiri di hadapanku sambil menenteng sebuah payung
“Dasar bodoh, kalau kau sakit siapa yang akan mengurusmu?” omelnya sambil menuntunku masuk ke apartemennya. Aku hanya menurut, membiarkannya mengomel tak karuan. Herannya, mengapa aku mau diajak masuk ke rumah orang yang tidak aku kenal? Apa kata tetangganya nanti? Tapi melihat gelagatnya, sepertinya ini bukan masalah yang besar.
“Kau lupa padaku, Myra-san?” dia masih menatapku, dengan tatapan yang lebih hangat dan bersahabat dibanding dahulu. “Ryota-san?” kalimatku menggantung, dia tersenyum, “Apa kabar?”
“Dasar bodoh, membawa payung tapi tidak dipakai. Malah main hujan-hujanan seperti ini. Maumu apa sih?” omelnya. Aku mendongak, menatapnya dengan tatapan menantang. “Kau yang bodoh! Mengurusi urusan orang lain. Memberi bantuan yang tidak perlu. Dasar kurang kerjaan!” bentakku. Kuhentakkan handuk yang dia berikan untuk menghangatkan tubuhku dan beranjak pergi. Dia mencegatku, “Bodoh, mana bisa aku membiarkan seorang gadis asing keluyuran tidak jelas di tengah hujan di negara yang sama sekali asing baginya” Eh? Bagaimana mungkin dia tahu aku bukan orang Jepang?
“Kau tidak berubah ya, Myra-san” sapanya. Aku mengangguk, “Kau malah berubah drastis, Ryota-san. Dulu kau keras kepala dan menyebalkan” Dia tertawa, “Tsukimi, aku jadi ingat waktu pertama kali mengenalmu. Gadis asing yang berkeliaran di negara yang tidak dikenalnya untuk tujuan yang tidak jelas” kelakarnya. Aku tertawa, “Tujuanku menenangkan diri, bukan keluyuran tidak jelas”
Aku menatap bulan purnama di musim gugur pertamaku di Jepang. Indah, membuatku merasa nyaman. Belum pernah aku merasa begitu damai seperti ini.
“Kau tahu, tanpa sadar kau sudah melakukan salah satu tradisi Jepang di musim gugur.” Aku menoleh, mendapati Ryota—bocah menyebalkan itu—sudah duduk di sampingku. “Apa?” tanyaku, tetap menatap keindahan malam kota Tokyo. “Tsukimi, menatap bulan purnama yang indah di musim gugur” Aku hanya mendiam, menatap keindahan rembulan musim gugur.
“Yah, tanpa sadar kita sudah melakukan tsukimi, lagi” kelakarnya. Aku tertawa, “Yah, tanpa sadar kau juga mengulang kata-kata yang sama seperti setahun yang lalu”
“Kau mengingatnya?” Aku mengangguk, “Tsukimi, menatap bulan purnama yang indah di musim gugur” ulangku seperti dahulu. Dia tertawa, “Kau tetap tidak berubah, masih menyebalkan saja seperti dulu” Aku tidak menjawab, ia pun sepertinya tak menginginkan jawaban dariku. Kami sama-sama mendiam, menikmati keindahan malam.
“Ryota-san, waktu itu, bagaimana kau tahu aku adalah orang asing? Padahal menurut orang-orang aku sangat mirip dengan orang Jepang kebanyakan” tanyaku memecah hening.
Dia membetulkan letak duduknya, menghela napas dan menatapku dalam. “Matamu, matamu berwarna hijau emerald. Sejauh ingatanku, belum ada orang Jepang yang memiliki mata seindah matamu. Bahkan keturunan campuran pun tidak. Kau kelahiran Jerman, bukan?”
Eh, dia memperhatikanku? Sampai warna mataku pun? Apa maksudnya ini? “Kau memperhatikanku sejak dulu sampai sedetil itu? Aku tersanjung” pujiku. Wajahnya memerah, entah mengapa. “Tidak juga, hanya kebetulan saja” Dan kami kembali saling diam dalam keheningan malam.
“Kau tahu, Myra-san. Kau itu sama seperti rembulan yang kita tatap, indah dan menawan” ujarnya. Aku menatapnya seribu tanya. Tanpa sadar, wajahku memerah.
*****
Bukittinggi, setahun kemudian
Bukittinggi di waktu malam sangatlah berbeda dengan Jepang. Bukittinggi sangat dingin, damai, dan tenang. Berbeda dengan Jepang yang penuh hiruk pikuk kesibukan masyarakatnya. Jepang, rasanya begitu sulit bagiku untuk melupakan Jepang dengan segala kenangan indahnya.
“Ternyata Indonesia juga punya musim dingin ya?” kelakarnya. Aku menatapnya, memutar bola mataku. “Just wet and dry season here. No summer, no winter, even autumn” terangku. Dia tertawa, “Setidaknya Bukittinggi lebih indah dari yang ku bayangkan”
Kami terdiam untuk beberapa saat. Menikmati dingin dan indahnya Bukittingi, hingga dia membuka suara. “Apa kabarmu?” Aku menoleh, “Baik, kau sendiri?” Dia membetulkan duduknya, “Tidak begitu buruk. Hei, tanpa sadar kita melakukan tsukimi lagi. Aku penasaran apa namanya dalam bahasa Indonesia” Aku menoleh, “Tak ada istilah untuk momen paling romantis ini dalam bahasa Indonesia”
***
(untuk cinta yang datang dan pergi sesuka hatinya, terima kasih untuk warna dalam pelangi hidupku)
Follow Her On Twitter
Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
Dan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya