Kamu Bahagia?

    Author: AOmagz Genre: »

     Oleh: Riz Raharyan


           KLIK !
           “Dapat!” gumamku kecil sembari tersenyum puas. Sesosok wanita anggun, tengah duduk menatap matahari yang sedang menjejaki garis-garis carikan awan kelabu yang terajut di atas langit secara perlahan sebelum akhirnya ia bunuh diri dan masuk dalam lembah sunyi. Senyum cantik wanita itu, ditambah keindahan senja yang mencakar langit-langit, menguraikan cahaya biru bergradasi oranye membentuk sesuatu yang aku sebut dengan SEMPURNA. Ya, sempurna. Dan semuanya terbingkai di kamera kesayanganku.

           Aku menghampirinya. Dengan halus lengan-lenganku mulai merangkul indah tubuhnya dari belakang, menikmati setiap jengkal wajahnya yang cantik terutama matanya yang menawan dengan tatapan yang membintang.

           “Indah ya, Sayang?” Kataku memecah keheningan.

           Ia hanya mengangguk tanda mengiyakan, tak berucap, sepatah katapun tidak. Ia masih mengagumi lukisan Tuhan yang tergelar dihadapannya.

           “Kamu bahagia?” Kataku, sembari sesekali mencium aroma rambutnya yang mulai menyerbak dibawa angin senja yang berlari-lari.
           Lagi-lagi ia tak menjawab, hanya mengangguk saja. Sikapnya yang diam seperti itu terkadang membuatku kesal, namun setelah melihat wajah cantiknya dengan sendirinya kesal itu akan mereda, kabur dibawa angin senja, di telan gelombang lautan hingga terkubur di pasir pantai yang terdalam.

           Untuk beberapa detik aku mempererat pelukanku, begitupun dia semakin menikmati kehangatannya. Tak lama aku melepaskan pelukanku, dan berpindah kehadapannya. Dengan segenap keberanian aku mencoba mengikuti adegan-adegan film romantis saat si pria ingin mencoba melamar wanitanya, si pria mengambil sebuah kotak kecil dari dalam sakunya, bersimpuh dihadapan sang wanita dengan satu tangan memegang kotak dan tangan lain memegang tangan wanitanya lalu mengatakan kalimat-kalimat ajaibnya. Namun belum aku memulai kalimat-kalimat itu, rasa gugup dengan cepat menyelinap ke otakku, menghancurkan konsentrasiku dan membuyarkan keberanianku. Wajahku memerah, ucapku terbata-bata.  

           Ya Tuhan, aku gugup, sungguh gugup. Batinku.

           Tiba-tiba saja aku bingung, skenario yang telah kuhafalkan mulai melunturkan dirinya dari ingatanku. Sekarang apa yang harus aku katakan? Apa aku akan berkata “sayang, apabila kau jadi bulan aku akan jadi bintangnya, dan kalau aku jadi kumbang, apa kau mau jadi kembangnya?” Yang benar saja ! Aku tidak mau menghidupi cinta ala supir dan pembantu yang terlalu banyak mengkonsumsi sinetron-sinetron dan lagu-lagu melayu yang penuh rayu, aku ingin lebih dari sekedar cinta seekor kumbang ataupun sebuah bulan dan bintang, apalagi cinta seekor kumbang yang berada di bulan, pasti akan aneh jadinya. Otakku mencari-cari keberanian, hatiku sibuk merangkai kalimat-kalimat yang tak sengaja kulunturkan. Aku gugup, kegugupan yang tiada tara.

           Aku memperhatikan wajah wanita itu, sejenak ia terpaku, warna matanya mengisyaratkan perasaan kaget dan bahagia yang bercampur-campur tak karuan. Selang beberapa detik, wajahnya yang merah mulai melembut, sinar matanya yang menawan mulai meneduh, lekuk bibirnya yang indah mulai melengkungkan pelangi. Kecantikannya tak berkurang sedikitpun bahkan melebihi yang tadi. Aku yakin, kalau aku bertanya sekarang apa dia bahagia atau tidak pasti ia akan menjawab “iya, melebihi apapun”.

           Tiba-tiba saja keberanianku muncul, dan kepercayaan diri mulai menyebar keseluruh penjuru tubuhku. Aku rasa inilah saatnya.

           “Intan…” ucapku memulai segalanya. Semuanya kututurkan. Ya, semuanya bahkan tanpa skenario. Semua argumen, perasaan, komitmen serta kalimat-kalimat indah mengalir lembut dari mulutku ke telinganya dengan penuh ketegasan, keyakinan dan kejujuran. Senja itu menjadi indah, lebih dari apapun.

           “Kamu mau.. jadi… pendamping hidupku?” kataku dengan tergagap-gagap, sungguh kata-kata yang norak. Bulan yang tengah bersembunyi dirajutan carikan awan putih yang terputus-putus itu ikut berdebar-debar, ia menutup matanya dengan bintang-gemintang. Begitu pula lautan seakan menjadi diam untuk sejenak menunggu Intan menjawab lamaranku.

           “Aku…” ucap Intan perlahan

           Iya, Iya, Iya. Batinku terus menerus. Dan…

           KRRIIIIIINGGG ! KRRIIIINGG !

           Sebuah suara yang selalu kubenci membangunkanku.



    *****

           Pukul 05.47
           Langit yang masih akrab dengan kegelapan mulai dilahap cahaya biru yang dihempaskan matahari setelah sebelumnya baru saja membuka selimut-selimut awannya. Gunung-gunung yang menjulang di langit timur mulai menatapi bayangannya sendiri, mereka menjadi sketsa betapa indahnya langit hitam bergradasi biru itu. Udara yang berhembus masih lembut, masih segar, belum terbujuk debu dan terhasut polusi hanya beriringan dengan partikel-partikel cinta dari makhluk-makhluk berjiwa saja. Mereka lalu lalang, menyapukan semua mimpi-mimpiku yang berserakan.

           Astaga, hanya mimpi. Hanya mimpi dan selalu mimpi. Andaikan aku bisa melamar Intan secaranya nyata. Aku membatin tak karuan dengan nyawa-nyawa yang masih berlarian.

           “Eh sekarang tanggal berapa?” Ucapku dengan nada yang meninggi, aku terbangun dari posisi tidurku dengan tiba-tiba seraya melihat ke kalender tahunan yang telah usang.

           Aku tersenyum puas mendapati 2 Juni adalah tanggal hari ini. Ya, itu berarti aku akan bertemu Intan hari ini, wanita yang telah menjadi pacarku selama bertahun-tahun, namun tak sekalipun aku berani melamarnya, hanya dalam bunga-bunga tidur saja aku bisa mengungkapkannya dengan ketegasan penuh kelaki-lakian.
    Ah apa peduliku dengan masa lalu itu? Lagipula hari ini aku memang berniat melamarnya, bahkan telah kubuat skenarionya berminggu-minggu lalu agar aku tak tergagap-gagap seperti yang selalu aku mimpikan. 

           Ya, rencananya sama persis seperti yang ada dalam mimpiku kecuali saat aku tergagap-gagap dan alarm berbunyi memotong jawabannya. Aku harap dengan wajahnya yang memerah tersipu malu ia akan berkata 

           IYA. Iya semoga saja.

           Aku rasa aku harus latihan lagi.

    *****

           Pukul 15.23

           Kurang lebih hanya tinggal satu setengah jam lagi sebelum kita bertemu, dan disini, di depan lemari yang telah kubongkar aku masih terduduk kebingungan. Sudah satu jam lebih aku mencari-cari pakaian yang cocok, namun tak satupun aku temukan.

           Ah belum lagi aku harus ke toko cincin pengambil pesananku, bisa-bisa aku telat. Akhirnya aku menjatuhkan pilihanku pada sebuah kemeja abu-abu cerah lengan panjang yang akan kulipat sampai siku, dan sebuah jeans panjang berwarna hitam, ditambah sebuah sepatu hitam dengan garis putih. Aku harap dia menyukai pakaianku.

           Aku bisa telat, aku harus bergegas ke toko cincin.

    *****

           Pukul 16.54
           5 Menit lagi? Sialan! Aku telat ! Kalau saja kemarin ban motorku tidak bocor, pasti sekarang ini aku tidak perlu menaiki angkot reyot yang lajunya lambat ini dan tak perlu juga aku terjebak dalam macet seperti ini ! Ya Tuhan… ! Ah sia-sia saja aku mengeluh.

           “Kiri !” Teriakku dengan terburu-buru seraya menyerahkan uang kepada supir yang duduk di sebelahku , aku pun segera menuruni angkot. Ku gerakkan kaki-kakiku menembus udara-udara yang menyesakkan, aku tidak peduli dengan apapun saat ini, bahkan jika penampilanku jadi hancur dan urakan karena berlari-lari ditengah polusi manusia ini, lagipula yang terpenting bukan penampilanku dalam berpakaian tapi penampilanku saat pelamaran. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah wanita itu, dan sebuah kotak cincin yang telah kuambil setengah jam yang lalu, semuanya kugenggam erat agar tak lepas.

           Dari seberang sebuah toserba aku menyebrang jalan dengan terburu-buru, dengan pikiran kosong melayang-layang ke wanita itu, hingga tanpa sadar sebuah mobil melaju cepat menyongsong ke arahku. Terlalu cepat, dan terlalu tepat arahnya untuk bisa ku hindari.

           BRUK ! Sekilas saja tubuhku dengan mobil itu bertabrakan hingga menimbulkan suara yang menarik perhatian orang-orang, bersamaan itu tubuhku pun melayang sampai akhirnya tubuhku yang bertutupkan kemeja abu-abu bernoda darah itu pun runtuh, ambruk dan mati rasa. Mata ku terpejam, tak sadarkan diri.

    *****

           Pukul 17.29

           “Awas ! Awas !”

           Berisik ! Apa orang-orang tidak sadar aku sedang tidur seperti ini? Hei tapi dimana ini? Kenapa kamarku seakan penuh? Apa kamarku pindah ke tengah pasar? Atau di kamarku ada sebuah pasar?

           “Dia sadar ! Dia sadar !” teriak salah seorang wanita di sampingku.

           Samar-samar terlihat orang-orang yang mengerumuniku, ada yang wajahnya panik, iba, dan lain-lain. Aku tak memperdulikannya, tak ada wajah yang ingin kulihat disana.

           “Cepat panggil ambulans!”

           Hah? Ambulan? Apa maksudnya? Bukankah sekarang aku sedang tertidur nyenyak di kasurku yang empuk? Apa aku tadi tertabrak ya? Yang benar saja ! Bagaimana janjiku dengan Intan? Apa yang harus aku katakan?

           Aku membuka mata lalu melirik jam tanganku, sebuah jarum pendek menunjuk ke angka 5, lalu sebuah jarum panjang besar menunjung ke angka 6 sedangkan sebuah jarum lainnya berlarian entah kemana, tak bisa diam.

           “Aku telat” gumamku kecil, aku menengadahkan kepalaku, memandang ke langit biru yang mulai bergradasi oranye, sepoi angin berhembus lembut mengusap permukaan wajahku yang penuh luka. Pemandangan ini persis seperti yang aku rasakan dalam mimpi.

           Dengan tenaga yang tersisa aku mencoba merogoh saku celanaku, mengambil handphone dan sebuah kotak cincin. Orang-orang melihatku dengan heran. Aku mencoba menggerakkan jari-jariku, mengetik huruf demi huruf hingga menjadi sebuah kata, mengetik kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat, mengetik kalimat demi kalimat hingga menjadi sebuah maaf. Dan selesai.

           Send?

           Ah aku merasa lemas, tanganku mati rasa, tak bisa kugerakkan lagi tapi aku harus mengirimnya.
    BRUK..

           Suara apa itu? Seperti sebuah hp yang jatuh, atau tanganku? Argh… Ya Tuhan… badanku lemas sekali, tolong aku harus bertemu dengannya ya Tuhan.

           Mataku terpejam, suara-suara tak lagi ku dengar.

    *****

           Pukul 18.06

           Sesosok wanita cantik berperawakan tinggi dan berkulit putih tengah terduduk memeluk lutut di atas permukaan pasir, sembari sesekali mengusap pipinya yang mulai banjir oleh hujan dari awan di matanya yang pecah. Dress putih yang membalutnya semakin menambah keindahan lekuk tubuhnya. Ya, tak sedikitpun kecantikannya berkurang.

           “Dika kemana sih?” batinnya. Sudah satu jam lewat dari janji mereka bertemu. Matahari sudah menyembunyikan dirinya dari kegelapan. Namun tak sedikitpun ia meninggalkan tempat itu, Ia yakin Dika pasti akan datang. Kegelisahan mulai tampak di sela-sela wajahnya. Keningnya berkerut, seraya melihat jam yang tertera di ponselnya. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

           “Hai sayang… “

           “Dika?” wanita itu langsung membalikan badannya, berharap ia tak salah dengar.

           Kosong. Tak ada seorang pun yang dia lihat.

           Dika.. kamu kemana? Aku takut, aku kedinginan disini sendiri, kamu bakal dateng kan? Kamu ngga akan ngecewain aku kan? Batin wanita itu terus menerus.

           Drrrrtt…. Handphone Intan bergetar, tanda sebuah sms masuk.

           From : Dika
           “Sms dari Dika? Dia kemana sih …” gumamnya kesal, namun dengan semangat ia membuka sms-nya dengan sesekali mengusap air matanya.

           “Hei sayang, kamu lama nunggu ya? Maaf,kayanya aku ngga bisa dateng, iya  tiba-tiba aja aku harus pergi ke suatu tempat, mendadak.
           Sekali lagi maaf ya sayang, aku harap beribu maafku bisa ngemaafin satu kesalahanku ini, seperti halnya satu maafmu yang selalu bisa ngemaafin beribu kesalahanmu, meskipun aku rasa kamu ngga pernah berbuat salah. Dan pacarku sayang, aku harap sesudah ini cinta kamu ke aku masih sama, seperti halnya cintaku ke kamu yang ngga akan berubah. Dari pacarmu, yang masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. P.S. Maaf, aku ngga bisa ngebahagiain kamu”  

           “Ngga kok sayaang… Aku…” Secercah awan pun pecah dimatanya yang menawan. Matanya berkaca-kaca tak karuan, beribu hal buruk terlintas dibenaknya.

           “Aku Bahagia. Iya.. melebihi apa pun”

    -END-

    2 Responses so far.

    1. Whoa itu dikanya meninggal yaa ? :(
      Ayo lagi-lagi bikin hoho
      bang Aul tulisannya kok kecil banget ?

    2. Anonim says:

      A big thanks to you Bang Aul hehe :D
      Makasih banget udah diposting, maaf ya ngerepotin kemaren2. Lain kali kalau kirim lagi ngga akan ribet deh :)


      @Azizah Ananda :
      Hehe iya ceritanya meninggal :)
      Btw bagus ngga? Minta kritik dan sarannya dong :D

    Leave a Reply

    Thanks for reading! Leave your responses here :)

    Tentang AOMAGZ

    AOMAGZ adalah sebuah online magazine. Tapi bukan majalah berita, majalah resep atau majalah fashion. AOMAGZ adalah majalah spesialis cerita : Cerpen, Cerbung, Flash Fiction, Serial, Dongeng, Cerita Anak dan lain-lain. Jelajahilah AOMAGZ sesuka hati kamu karena ada cerita baru setiap harinya (kecuali weekend). Enjoy!

    Readers



    Follow Us On Twitter Photobucket


    Guestbook