Oleh: Sisi Ungu
Treet..
Hapeku bergetar, muncul satu pesan.
“Aku pengen ketemu siang ini bisa nggak?”
“Tumben, rindu aku ya?”
“Lebih dari itu, there is a good news.”
“Huaa..kamu mau nikah ya Ti!”
“Haha..kamu kok pinter amat sih nebaknya. Iya, aku mau nganter undangan.”
“Jam 12.10 ya, aku lagi banyak kerjaan kantor nih. Kita makan siang bareng, gimana?”
“Oke, di Wong Kito.”
“Baiklah, Ti manis :)”
*****
5 bulan sebelumnya.
Malam itu satu menit lagi menuju jam 10, ditemani instrument silk road dari mp3 aku membolak-balik catatan resep masakan yang sudah lama kuprint out dan kustaples rapi. Setelah sebelumnya kuselesaikan pekerjaan kantor yang tak banyak.
Lima belas menit berikutnya, kembali aku merasa bosan, mataku penat namun belum ingin dipejamkan. Satu-satunya cara yang kupikir dapat melenyapkan bosan di detik itu adalah dengan online. Kubuka messenger dan mendapatkan 3 nama yang available. Memang sedikit teman-teman yang kumasukkan di daftar kontak. Aku sengaja membuat messenger lebih privacy. Ada nama Tias diantara 3 nama itu. Telunjukku kembali mengklik mouse yang menunjuk nama Tias. Kucoba menyapa dan merentangkan percakapan.
“Asalamu’alaykum, belum tidur, Ti? :) ”
“Wa’alaykumsalam, belum ngantuk, Ndin.”
“Udah lama nggak muncul nih :) “
“Hiks… :( ” ekspresinya tiba-tiba.
“Lho kenapa??”
Sedikit lama tak ada respon yang kudapat di monitor. Hampir 2 bulan terakhir komunikasiku dengannya mulai berkurang. Kami sudah jarang berbalas sms. Pekerjaan pun telah membuat pertemuan kami hanya beberapa kali. Dan semenjak lulus kuliah kami tak lagi tinggal di rumah kos yang sama.
“Andin, aku boleh cerita?”tanyanya kemudian.
“Boleh dong Ti, sejak kapan aku menolak mendengar curhatmu :)”
“Sebenarnya aku masih tak ingin cerita pada siapapun, Ndin. Tapi jika kusimpan sendiri pun tak bisa menyembuhkan.”
“Ada apa?”tanyaku segera. Aku berpikir akan ada kisah sedih dari Tias malam ini.
“Kau tahu, aku sudah cukup lama menanti seorang yang tulus untuk menjadi imamku. Hingga akhirnya aku bertemu laki-laki yang bersedia menerima segala kekuranganku."
"Proses ta’aruf kami terus berlanjut lebih sebulan, tak ada perbedaan yang terlalu dirisaukan, kecuali satu…”ceritanya menggantung.
“Apa itu…?”
“Masalah suku. Aku melayu dan dia jawa. Hanya orang tuanya yang menganggap perbedaan itu menjadi sebuah halangan.”
“Trus…?”
“Hingga suatu hari Tuhan menunjukkan hal yang tak kuketahui. Dia telah memilih perempuan yang dikenalkan oleh orangtuanya tanpa pernah mengatakan jauh sebelum aku terlanjur menaruh percaya padanya. Dia tidak memberitahu dengan jelas karena alasan mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Ketidakjujurannya membuat hatiku lebih sakit, Ndin…”
Aku menghela nafas panjang. Ada haru. Kesedihannya juga menjalar di hatiku. Kubayangkan Ia di sana sedang mengusap airmata. Mencari tenaga untuk menyambung kalimat demi kalimat dengan hati yang masih terluka. Hatiku protes. Tias jangan menangis. Lelaki itu akan besar kepala kalau saja ia tahu kau sedang menangis karenanya. Namun kata-kata itu kutahan. Karena aku tak tahu pasti keadaannya.
“Sabar ya Ti, Allah akan mempertemukanmu dengan seseorang yang jauh lebih baik.” aku bingung mencari kalimat terbaik untuk meredam kesedihannya. Tias yang lebih tahu rasa sakit itu sedang aku hanya seseorang yang mencoba memahami.
*****
Aku tiba di warung Wong Kito sepuluh menit lebih awal. Letak warung tepat di belakang pom bensin Jalan Dr. Susilo Grogol. Dekat sekali dengan Universitas Trisakti, kampus aku dan Tias semasa kuliah. Kos kami pun hanya berjarak 50 meter dengan warung ini. Yang menarik Wong Kito juga menyediakan layanan delivery, kalau malas keluar kami tinggal menelpon, setengah jam kemudian pesanan akan datang. Dulu warungnya masih kecil namun sekarang kondisinya jauh berbeda. Bangunannya mengalami perluasan. Ada beberapa lampu cantik yang digantung dan ornamen pucuk-pucuk daun terangkai indah di beberapa bagian dinding. Aku mengambil tempat di pojok kanan. Setelah memesan nasi goreng seafood pada seorang pelayan.
Selang beberapa menit, Tias muncul dengan jilbab biru laut yang lembut dan senyumnya yang khas, manis. Aku memandangi Tias. Takjub dengan bola matanya penuh dengan binar bahagia. Jelas sekali senyum terukir di wajah gadis berlesung pipit ini.
“Sudah pesan?” tangannya menarik kursi kemudian ia duduk.
“Udah”jawabku.
“Sudah lama kita nggak ke Wong Kito ya..”lanjutnya masih dengan senyum yang manis sembari meletakkan tas di meja.
“Kamu sih sibuk.”sahutku. “Mana undangannya, aku penasaran nih.”
“Bukan aku yang sibuk, tapi kita.”ujar Tias sambil tertawa, membuka tasnya lalu menyodorkan undangan berwarna keemasan.
Di sela-sela Tias bercerita tentang betapa repotnya ia mempersiapkan segala hal menjelang akad seminggu lagi. Dengan penasaran aku membuka undangan kemudian mulai membaca, “Ahmad Agung Nugraha.” Beberapa detik aku mengingat. Aku yakin nama yang tertulis tepat di bawah nama Tias adalah lelaki yang baru kukenal dua minggu lalu lewat kegiatan training dan event management di kantor cabang. Lelaki dengan tubuh jangkung, berbicara dengan logat jawa dan teramat santun.
“Andin, benar katamu, Allah selalu memiliki rencana yang terbaik bagi setiap hambaNya. Ada nama yang menjadi rahasiaNya sendiri dan sampai pada saat yang tepat kini nama itu diberitahukan padaku.”
“You’ve finally found someone…” ujarku pelan kemudian kulantunkan syukur berkali-kali.
-END-
Pontianak, 19 Mei 2011
Nb: Sebuah kado untuk seorang sahabat. Barakallah fii umrik :]