Oleh: Aul Howler
“Kalau begitu ini cukup gawat, barra,”
Lelaki dengan baju menyerupai dewa di film-film itu mengelus-elus jenggotnya yang seputih salju di bulan desember. Raut-raut keriput di wajahnya begitu tua, seolah umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Emas murni bergelayut di pergelangan tangan dan lehernya, melingkari dahinya, dan melilit tongkatnya, membuat orang ini terlihat begitu kaya dan berkuasa. Ya, kakek Gutanana ini adalah kepala suku Shiny Land, yang kedudukannya paling tinggi di tempat itu.
“Ayahanda benar, bara,” Ujar seorang wanita bergaun gemerlap di sampingnya —Sang ratu, sekaligus Ibu Gutanana— dan bermahkota dengan hiasan rubi. “Prajurit Dark Kingdom saja sudah gawat, apalagi rajanya juga, barra.”
“Kita tidak bisa diam saja, barra.” Ayah Gutanana —Raja Shiny Land— ikut berpendapat. “Kita harus mempersiapkan diri untuk menahan serangan! Bahkan, bila perlu kita serang balik, barra!”
Kepala suku diam saja. Kerutan di dahinya sejenak bertambah beberapa baris, menandakan ia sedang berpikir keras. Kemudian ia bersuara, “Apa menurut kalian, kita masih bisa melunakkan hati Raja Dark Kingdom? Maksudku, bila kita jelaskan kepadanya, bahwa kehancuran tubuh salah satu prajuritnya karena panah kayu cahaya itu adalah sebuah ketidaksengajaan, apa kira-kira dia mau membatalkan serangan?”
Ayah Gutanana menggeleng, “Kita tidak bisa memprioritaskan hal itu, Ayahanda. Mungkin kita bisa jadikan itu sebagai rencana pertama. Tapi rencana kedua, ketiga dan seterusnyalah yang harus kita prioritaskan. Kita tidak boleh ambil resiko dengan satu rencana. Kita harus tetap pastikan tidak ada penghuni Shiny Land yang terluka, barra!”
Kepala suku menatap raja dengan pandangan penuh sirat kebanggaan. “Kau adalah raja yang jauh lebih bijaksana daripada aku, saat aku masih memerintah dulu, barra.”
Raja tertawa, “Tidak, barra! Ayahanda lah yang mendidik dan mengajarkan aku menjadi raja yang harus selalu punya rencana cadangan, bukan? Itu artinya Ayah lebih hebat dariku, barra! Bahkan, dulu Ayah berhasil memukul mundur serangan Dark Kingdom, ingat tidak, barra…?”
Kepala suku menggaruk kepalanya yang sebagian besar telah botak. “Waaah…. Aku terlalu tua untuk mengingat itu. Rasanya memang pernah tapi…. Entahlah, barra! Penyakit pikun ku tambah oarah saja, barra” Ujarnya sambil tertawa terkekeh, memamerkan deretan giginya yang tak lagi lengkap. Semua yang berkumpul di istana termasuk Gutanana, Gutarara, Raja, Ratu, petinggi prajurit, pimpinan daerah, dayang dan sebagainya, ikut tertawa. Tapi Yogie yang juga berada di sana hanya diam saja, dongkol diabaikan semua orang.
“Maaf, permisi. Saya rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk tertawa atau reuni keluarga. Bukankah Shiny Land akan diserang?” Yogie tak tahan berkomentar.
“Anak muda ini benar. Kita harus segera bersiap, barra.” Raja bergumam, kemudian ia mengangkat kedua tangannya, lalu menghentakkan tongkat besarnya 3 kali ke lantai.
“Perintah kepada seluruh pimpinan dan petinggi Shiny Land! Tolong beritahukan seluruh penduduk terutama wanita dan anak-anak, agar segera bersembunyi di dalam gua-gua bawah tanah. Sebagian lelaki harus ikut bersembunyi, lindungi wanita dan anak-anak! Kita tak bisa lengah, bila saja prajurit Dark Kingdom mampu menerobos pertahanan yang akan dibuat. Sebagian lelaki lainnya yang mahir memanah dan menombak, tolong persiapkan tombak, busur dan anak panah kayu cahaya. Harap ikut berperang bersama prajurit Shiny Land lain. Sekarang Juga!”
Dan semua orang mulai sibuk, berlarian ke sana ke mari. Rumah Gutanana yang merupakan istana pusat kerajaan itu perlahan mulai sepi. Yang sekarang berada di dalamnya hanya Gutanana sekeluarga.
“Aku… aku… minta maaf, barra!” Gutanana memulai. Suaranya tbergetar, sepertinya menahan keinginan untuk menangis.
Gutarara menjerit, “Maaf saja tidak cukup, barra! Apa yang telah kau lakukan memang sangat keterlaluan! Kau menyebabkan kehancuran, barra! Kau menyebabkan penderitaan, barra! Kau menyebabkan perang, barra!”
Gutanana menunduk. Air matanya mulai menetes, mengalir melalui pipinya dan jatuh ke lantai. “Maafkan Aku… barra…”
“Sudah kubilang kan, ini semua bukan salah Gutanana. Ini salahku! Gutanana menggunakan panah keramat itu hanya karena berusaha melindungiku dari serangan prajurit kingdom. Kenapa tak ada yang mau mengerti…?”
Gutanana berhenti menangis, dan hiasan kepalanya bersinar. Gutarara melotot galak, lalu berteriak lagi, “HAAHH!! Di saat seperti ini malah terjadi, barra!!” kemudian ia meninggalkan ruangan itu.
“Apa?” Ujar Yogie, sama sekali tak mengerti.
Raja tersenyum, “Kau… Sepertinya yang dipilih menjadi menantu kami, barra.”
Wajah yogie memerah. Tubuhnya tiba-tiba terasa tak nyaman. Jantung nya berdebar lebih cepat, dan ia dapat merasakan setiap inci dari nadinya berdenyut-denyut kuat. “Eh… kalau tidak salah tadi anda bilang… me… meenan… menantu…??”
Raja mengangguk, dan Yogie merasa ingin pingsan. “Apa alasannya? Apa seperti yang dikatakan Gutanana sebelumnya? Bahwa aku telah memecahkan bunga asmara karena perasaanku pada Ciara, yang mirip Gutarara…?”
Raja dan ratu melongo. “Gutarara… barra…?”
Yogie mengernyitkan dahinya, heran. Sungguh, selama berada di Shiny Land sudah berkali-kali ia merasa heran —atau terkejut— karena banyak hal. Tapi ini yang membuatnya paling heran. “Tadi anda bilang….”
“Gutanana, maksud kami. Tentu saja, barra” Kepala suku angkat bicara. “Hiasan kepala seorang putri keturunan raja akan bersinar bila calon suaminya telah ia temukan. Dan kau, anak asing yang ingin tahu, telah dipilih oleh hiasan kepala Gutanana. Artinya…..”
Yogie memotong cepat, “Aku…? Dan Gutanana akan…? MUSTAHILL!!!”
Gutanana ikut memerah mukanya. “Ayahanda, Ibunda, Kakek… Aku rasa sekarang buakn saatnya membicarakan masalah kecil ini. Sebaiknya kita juga bersiap-siap menghadapi gempuran Raja Dark Kingdom, barra!”
“Biar aku saja yang nanti mencoba bicara pada Raja Dark Kingdom, barra.” Kepala suku mengusulkan.
“Aku dan Gutarara akan ikut melindungi para wanita dan anak-anak di gua bawah tanah, barra” Ratu ikut bicara.
“Aku akan memimpin pasukan perang, barra.” Raja tak mau kalah.
“Dan aku… Dan Gutanana… apa yang harus kami lakukan…?” Yogie mengeluh.
Raja memejamkan matanya sebentar, kemudian ia tersenyum. “Kami tak bisa biarkan calon menantu terluka. Kau sebaiknya jaga tuan putrimu dan istana ini, barra. Ini perintah, barra.”
Yogie tak berkutik lagi. Ia terpaksa menerima saja.
(Bersambung)