oleh: Aminocte
Aku tahu, tidak sepantasnya aku berada di sini, di depan pintu sebuah rumah kos putri, sementara jam telah menujukkan pukul 01.00 dini hari. Siapa pun pasti mencurigaiku sebagai orang yang tak tahu sopan santun dan bernafsu liar. Namun, kenyataannya, aku berada di sini untuk sebuah tugas penting nan mendesak. Sebagai anggota perkumpulan pemuda setempat, aku harus memastikan lingkungan ini aman dari pelanggaran sosial. Terlebih, daerah ini didominasi mahasiswa pendatang yang tidak sepenuhnya mengerti aturan-aturan tak tertulis yang telah disusun oleh masyarakat kami sejak lama.
Gadis tadi itu salah satunya. Ia berjalan tergesa-gesa ke arah sebuah rumah dengan pakaian yang tak pantas. Bajunya tipis dan celana jinsnya hanya menutupi separuh paha. Aku mengejarnya untuk memberikan peringatan, tetapi tidak digubrisnya.
Rumah yang dimasukinya adalah rumah ini. Aku yakin sekali mengingat daya ingatku tidak pernah berkhianat. Aku tahu siapa yang menghuni rumah kos yang mana. Apalagi gadis itu. Dibandingkan teman-teman sekosnya, maupun penghuni rumah kos putri lainnya, ia yang paling sering keluar malam.
Kuketuk pintu ini sekali.
Tak ada jawaban.
Lalu sekali lagi. Kali ini lebih keras.
Masih tidak ada jawaban.
Tok. Tok tok. Tok tok tok. Tok tok tok tok. TOK TOK TOK TOK.
Senyap.
Emosiku mendesak tanganku untuk menggedor pintu rumah ini, tetapi otakku mencegah. Aku harus berpikir jernih. Pertama, menggedor pintu rumah orang lain juga tidak kalah pantasnya dibandingkan pelanggaran yang dilakukan gadis itu. Kedua, penghuni kos ini akan ketakutan mendengarkan bunyi gaduh saat dini hari. Mereka tidak akan mau membukakan pintu, tak peduli apakah sang tamu adalah raga kasat mata atau lebih buruk lagi, makhluk halus yang tak dapat tertangkap indera.
Jadi, aku memutuskan untuk pergi.
Namun, sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah kos berpagar rendah ini, kusempatkan untuk menghubungi seseorang.
“Halo?” Terdengar suara dari seberang.
“Kenapa tadi lari?” Aku bertanya dengan hati-hati.
“Ini siapa? Lagipula tadi saya di rumah saja, kok.”
Senyumku mengembang. Masih berani berbohong rupanya. Aku melihatnya langsung dan tadi ia menjawab dengan suara bergetar. Namun, tak apa. Aku tak ingin mengintimidasinya kali ini.
“Ini Hadi, masih ingat? Apa karena aku memutuskanmu bulan lalu, terus kamu berlagak lupa? Aku tahu kamu sering pulang larut akhir-akhir ini. Beberapa kali tampak olehku, kamu pulang diantar mobil si Gun. Hati-hati, Dik, Gun itu bukan orang baik. ”
”Menelepon gadis malam-malam, Abang kira itu perbuatan yang baik?”
Kuabaikan nada protes dari suaranya. Bila bukan karena peduli padanya, aku tidak akan mengingatkannya sejauh ini. Biar saja sampai kecelakaan dan membuat ayahnya malu. Atau kuadukan ia kepada Ketua RT supaya disidang dan diusir.
“Ini kali terakhir aku memperingatkanmu, ya. Aku tak mau melihat kamu pulang larut malam lagi. Bila masih melanggar, siap-siap keluar dari sini. Cari tempat tinggal di kawasan lain yang lebih bebas. Paham?”
“Abang tak berhak mengaturku lagi. Jangan mentang-mentang orangtua kita akan menikah dan kita terpaksa menjadi kakak adik, lalu abang seenaknya melarangku ini itu. Ooh, atau jangan-jangan Abang cemburu dengan Gunadi?”
Aku mengepalkan tanganku dengan geram. Beraninya ia menuduhku sembarangan. Cih, atas dasar apa aku cemburu pada mahasiswa yang statusnya tak jelas itu? Kuliah keteteran, bisnis warnetnya pun tak beres.
Gun tidak pantas untuk menjadi kekasihnya.
“Aku hanya tak ingin kamu celaka dan menyesal di kemudian hari.”
“Ah, jangan banyak omong lagi, Bang. Muak aku mendengarnya.”
Lalu panggilanku terputus. Kusimpan ponselku baik-baik dalam saku, kemudian langkah kakiku bersiap untuk berjalan pulang.
Asal kamu tahu, Nita, tidak mudah untuk menjinakkan gelegak asmara ini menjadi kasih sayang. Pun tidak mudah untuk memadamkan api cemburu bila melihatmu bersamanya. Namun, kamu agaknya tak paham.
Terserah kamu saja. Aku sudah berusaha semampuku untuk malam ini. Bersiaplah untuk menikmati esok yang berbeda. Akan kutelepon pemilik kosmu untuk mengeluarkanmu dari sini.
Dengan demikian, aku tidak perlu melihatmu lagi.
Cinta ya kayaknya, tapi malu2 gengsi gitu ngakuinnya. Hahaha
@Bang Nuel: yang bikinnya juga masih malu-malu sih, Bang, belum berpengalaman :)