Oleh: FX Dimas Prasetyo
Menunggu itu membosankan, seperti kebanyakkan orang menunggu itu adalah menanti seseorang. Aku bukan menunggu kerabat atau teman, bukan juga menunggu orang tuaku singgah di rumahku, atau juga menunggu suamiku pulang dari kantor. Aku menunggu kedatangan seorang anak di rahimku. Aku sudah cukup lama menantikannya.
Aku dan suamiku sudah mendambakan kehadiran buah hati. Aku merasa bukan wanita seutuhnya tanpa kehadiran anak di sampingku. Kadang aku ingin marah dengan diriku sendiri. Aku merasa gagal sebagai seorang istri yang tak bisa memberikan seorang anak kepada suamiku. Kadang juga aku merasa bukan apa-apa, ketika sedang bersama teman-teman sebayaku. Aku merasa iri karena mereka sudah diberikan buah hati yang sangat menggemaskan. Aku juga ingin merasakan hal yang sama seperti mereka. Aku ingin merasakan pelukan hangat bersama tangan mungil itu di dekapanku. Tapi apa itu mungkin
Aku sudah lama berkeluarga. Aku dan suamiku sudah menikah selama 5 tahun. Namun 5 tahun bersama suamiku tanpa adanya buah hati diantara kita berdua. Kesepian dan kekhawatiran sering muncul di benak kami. Untung saja suamiku termasuk orang yang sabar. Sepengelihatanku ia termasuk lelaki yang setia. Tak ku lihat dirinya bermain serong dibelakangku, tak seperti teman-temannya yang lajang ataupun yang sudah beristri. Hal itu yang membuatku sedikit bisa tenang. Meski belum dikaruniai anak, ia masih tetap setia.
Credit to: Felix Salvata |
Pagi ini sama seperti biasanya. Aktivitas yang sama terjadi di rumah ini. Suamiku sudah pergi ke kantor, yang tersisa hanya aku dan bibi di rumah. Usai menutup pintu rumah, sehabis mengantarkan suamiku ke depan gerbang tiba-tiba aku merasa mual. Mual yang aku rasakan layaknya wanita-wanita yang sedang hamil. Aku sempat menanyakan hal itu kepada teman-temanku yang sudah hamil. Aku pun bolak-balik ke kamar mandi karena mual yang begitu tak tertahankan. Setelah aku ingat-ingat juga aku sedang terlambat datang bulan. Apakah aku hamil? Lalu aku memberitahukan hal ini kepada suamiku. Terdengar dari suaranya, ia terkesan amat bahagia. Aku pun hanyut dalam haru. Ini terjadi karena sudah sekian lama kaki menunggu dan akhirnya calon buah hati ini pun datang. Tanpa banyak bicara suamiku kembali ke rumah dan langsung mengajakku untuk tes kehamilan di salah satu rumah sakit di dekat rumah kami.
Rasa cemas membayangi kami berdua. Bukan apa-apa, kami hanya takut kalau aku tidak hamil. Kami sudah terlampau senang bukan kepalang. Takut ini hanya kesenangan sesaat lalu meluap begitu saja. Tes dan USG sudah aku lalui. Kami tinggal menanti keputusan dari dokter. Keadaan cemas masih ada di sekeliling kami sampai keputusan dari dokter jatuh di tangan kami. Dalam keadaan cemas, seorang suster tiba-tiba memanggil kami untuk masuk kedalam ruang dokter. Lalu kami pun masuk dengan langkah ragu-ragu. Kemudian dokter menjelaskan kepada kami dengan hati-hati. Ini yang ia ucapkan kepada kami, “Gejalanya memang sama persis dengan hamil yang sebenarnya yaitu terlambat datang bulan, hasil tes kehamilan yang menunjukan hasil positif hingga mual- mual. Namun jika di USG tidak nampak janin di rahim. Yang ada hanya gelembung- gelembung atau bola- bola kecil putih yang terlihat seperti rentetan buah anggur.”
Ini memang suatu kejutan berat bagiku. Kejutan getir yang tak terduga, sama sekali tak terduga. Ini memang berat, tapi apa boleh buat. Takdir sudah tertulis jika aku harus mengalami hamil anggur dan kali ini bukan hamil yang sebenarnya. Berarti aku harus lebih sabar dalam menunggu. Lagi-lagi menunggu. Menunggu buah hati yang kelak akan hadir bersamaku dan suamiku di dunia ini. Amin
Nggak gampang bikin cerita yang cross gender....