oleh: Argalitha
Sebenarnya, aku sudah terlelap sedari tadi. Namun tiba-tiba saja ketakutan melanda. Lekas kubuka kedua indra penglihatanku. Kuhela nafas lega seraya menikmati sekeliling yang didominasi warna putih. Tak apalah, daripada gelap. Entah mengapa mendadak aku takut kegelapan. Mungkin khawatir jika mataku terpejam lebih lama lagi, bisa-bisa aku tak lagi bertemu esok hari. Aku tak mau Mama bersedih bila kehilangan orang yang disayanginya sekali lagi.
"Ma," sebuah suara lirih keluar dari bibirku.
Tidak ada sahutan. Kutatap Mama yang menjatuhkan kepalanya di tempat tidur, dekat dengan dadaku yang terpasang kabel-kabel dari mesin aneh bergaris hijau. Ah, kasihan Mama. Ia pejamkan mata dalam posisi duduk. Lelah pasti menderanya setelah seharian bekerja demi membiayai pengobatanku. Walau sesibuk apa pun, dia tetap memperhatikanku.
Seulas senyum terukir di wajah. Hatiku senang karena ternyata aku tak sendiri di ruangan ini. Mama menungguiku semalaman. Kubelai rambutnya yang tergerai. Terima kasih, Ma.
Kuambil notebook, kuhidupkan, lalu kulanjutkan naskah novel yang baru tiga bab. Aku ingin terjaga hingga sinar sang surya membangunkan ayam jago untuk memulai tugas rutin: berkokok nyaring. Selain itu, pun ingin menatap wajah cantik Mama di kala bangun tidur, wajah yang syahdu serta memberi kekuatan tersendiri buatku. Nanti setelah sinar terang menyelinap dan menerangi ruangan ini, baru aku beristirahat. Karena di kala itu Mama bersiap beraktivitas dan meninggalkanku sendiri. Tapi itu tak masalah, sebab hanya sebentar. Tiap dua jam Mama menengok dan menemani hariku.
Kuketik dongeng yang sering Mama kisahkan padaku. Tentang Kurcaci malang yang mengirim surat untuk Tuhan melalui sebuah balon. Kukembangkan kisah itu, aku ingin sang Kurcaci bisa tersenyum. Setelah dia menerbangkan balonnya, Tuhan memberikan hadiah untuknya. Ia dipertemukan kembali dengan kedua orang tuanya yang terpisah saat tsunami melanda negeri mereka.
Awalnya Kurcaci kecil itu tak percaya. Namun saat merasakan pelukan hangat dari keduanya, maka di saat itulah dia mempercayai pandangan matanya. Benar keyakinannya selama ini, orang tuanya masih hidup! Tidak sia-sia dia terus menulis surat untuk Tuhan. IA kabulkan permohonannya, Tuhan membaca surat di balonnya. Dan balon yang hebat! Benda itu bisa menggapai tempat di mana Tuhan berada. Kurcaci semakin menyukai balon. Sejak saat itu, dia lalu menjadi pembuat balon dan semakin terkenal di penjuru negeri. Terlebih karena balon-balonnya berhasil membantu banyak orang dalam mengabulkan beragam keinginan.
Tanpa sadar, cairan bening pada sudut mataku menetes. Aku terisak setelahnya. Teringat sosok tercinta yang telah meninggalkanku. Papa, kurindu dirimu. Bahagiakah kau di sisiNYA? Aku terus berderaian air mata, hingga aku kelelahan dan terlelap.
"Vania sudah minum obat?" Tante Marissa tersenyum, melangkah mendekatiku. Aku mengangguk. Kulihat dia mendekap sebuah map berwarna kuning. Lalu dibacanya lembaran kertas pada map tersebut. "Menurut laporan, kondisimu membaik. Pertahankan, ya? Agar kamu bisa segera pulang."
"Tentu, Tan!" seruku bersemangat.
Perawat cantik itu mencium keningku, selanjutnya berlalu meninggalkanku. Aku sedih. Tapi kusadari kewajibannya yang tidak hanya mengurus kesehatanku seorang. Masih banyak puluhan pasien di rumah sakit ini, bahkan juga ada yang penyakitnya lebih parah dariku yang membutuhkan perawatan intensif. Aku harus bersyukur dan berterima kasih atas limpahan ketulusan kasih sayangnya padaku.
Kutengok jam dinding, pukul 10.00 WIB. Harusnya Mama sudah ada di sini. Bermenit-menit kemudian kutunggu, namun belum juga tampak sosok cantik itu. Apa hujan yang turun begitu deras menghalangi perjalanannya ke sini? Memang sih, dari jalan Basuki Rahmat yang padat itu butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di RS Timur Surabaya. Semoga tidak terjadi hal buruk padanya.
"Sayang, maaf ya?" wanita yang kusayangi itu akhirnya muncul dari ambang pintu. "Ada rapat mendadak di kantor. Eh, mau cemilan? Ini ada puding coklat kesukaanmu."
Kuambil makanan kenyal itu dari tangannya. Mama lalu sibuk menata keperluanku. Ia siapkan obat yang harus kuminum siang nanti, juga baju ganti setelah mandi sore. Buru-buru, dia mencium keningku dan melenggang pergi. Katanya dia begitu sibuk hari ini. Beberapa klien memintanya mempresentasikan produk unggulan di perusahaan tempatnya bekerja.
Kuhembuskan nafas dengan kasar. Nasal kateter [1] yang kupakai sedikit menghalangi udara yang keluar dari hidungku. Aku kesal, benci pada diam yang menyebabkan kesendirian. Ini akibat penyakit yang terus merantaiku. Gara-gara penyakit jantung bawaan yang kuderita, membuatku tak boleh banyak beraktivitas. Kalau aku bandel, katup tricuspid [2] bisa semakin menyempit. Inilah yang disebut stenosis katup.
Tinggal selama lebih dari sebulan di tempat ini bukan kemauanku. Tapi, semua salahku akibat tidak menuruti pesan dokter. Saat itu, diadakan pengajian atas setahun meninggalnya Papa. Aku yang masih berduka, melampiaskannya dengan berlari memutari taman bunga di dekat kompleks rumah. Tempat itu memiliki kenangan tersendiri, di situlah aku sering bermanja di pangkuan Papa dan memainkan balon biru yang dibelikannya.
Aku tak ingin memori itu berlalu, maka kupeluk erat setiap hawa masa lalu itu dengan berlari seraya merentangkan tangan. Kulupakan penyakit yang kuderita sejak lahir hingga kini usiaku hampir lima belas tahun. Dan dapat ditebak, aku begitu letih sesudahnya, tenagaku terkuras habis. Tak lama, jantungku berdetak begitu kencang, sesak nafas kurasa ditambah dengan nyeri kepala hebat. Tubuhku pingsan. Saat membuka mata kembali, aku telah berada di kamar sebuah rumah sakit dengan terpasang infus, nasal kateter, dan juga kabel-kabel ECG [3].
"Papa, aku kesepian. Temani aku, Pa ..." tanpa sadar, kugumamkan sosok yang telah tiada itu.
Dahulu, Papa yang selalu menggendongku ke tempat yang ingin kutuju. Ia turuti apa pun mauku demi melihat tawa di wajahku. Sekarang, posisi itu digantikan Mama. Seperti kemarin saat dia mengajakku menerbangkan balon biru. Karena tubuhku bertambah berat di usia remaja ini, kursi roda kugunakan dan didorong olehnya dengan riang. Tak sedikitpun Mama mengeluh saat merawatku. Benar kata pepatah, kasih ibu bagai sang surya yang menyinari dunia.
Kuraih notebook yang masih menyala. Ia mengedip-kedipkan layarnya, meminta jemariku menari di atas keyboard. Aku tersenyum menyapanya. Lalu, kumulai mengetik tentang kisah hidupku, Mama-Papa juga Tante Marissa yang sangat menyayangiku, dan benda favoritku, si balon biru.
***
Tiba-tiba, aku terkurung dalam kegelapan. Terdiam terpaku menikmati ketakutan yang langsung mendera. Aku tak berani melangkah pergi barang sejengkal pun. Takut manakala tindakan itu malah semakin membuatku tersesat. Gelap butakan arah. Diam adalah tindakan yang paling tepat.
Tak lama kemudian, seberkas sinar putih menyilaukan pandangan. Kuhalau sinar tersebut dengan meletakkan telapak tangan sejajar alis serta memicingkan mata. Sebuah siluet tubuh yang sangat kukenal mendekat ke arahku. Garis lengkung di wajah semakin melebar saat kupeluk dirinya.
"Pa, apa kabar?" kurasakan sesuatu yang hangat yang merasuk di jiwa. "Vania kangen!"
Tangan besarnya lalu mengelus rambutku. "Senangnya bisa bertemu lagi sama anak Papa yang tercantik sedunia."
Kami kemudian terkekeh. Papa menggandeng jemariku, lalu mengajakku melangkah. Dalam sekejap mata, kegelapan yang menyelimuti lalu berubah menjadi sebuah taman yang begitu indah. Lebih memikat dibandingkan dengan taman bunga yang selalu kami kunjungi di masa lalu.
"Ini di mana, Pa?"
"Istana Tuhan. Surga namanya."
"Wow!"
"Kamu mau menemani Papa di sini?"
Aku berdecak kagum sekali lagi. Siapa yang akan menolak tinggal di tempat seindah ini? Tidak ada! Termasuk aku. Terlebih, di sini ada Papa, orang yang kurindukan kehadirannya. Aku mengangguk-angguk senang. Papa mengacak poni yang mempermanis wajahku.
"Caranya, Pa?"
Sosok yang usianya hampir setengah baya itu mendekat ke arahku, membisikkan sesuatu. Segurat kerut terbentuk di dahi. Namun setelah kucerna baik-baik perkataan Papa, aku tersenyum simpul.
***
"Ayo bangun, Sayang. Waktunya minum obat."
Sebuah suara membuat mataku terbuka. Ah, rupanya pertemuan yang tak disangka tadi hanya bunga tidur. Tangan Mama lalu menyerahkan empat macam obat yang harus kuminum siang ini. Ia juga meletakkan menu makan siang di pangkuanku. Tampak jelas Mama begitu tergesa-gesa, pasti setumpuk tugas kantor menunggunya. Seperti biasa, sebuah kecupan pada kening menandakan salam perpisahanku dengan Mama untuk beberapa jam ke depan.
Kutatap butir-butir pahit di genggaman tanganku. Terngiang kembali bisikan Papa yang begitu terasa nyata. Mataku berbinar. Kusisihkan kapsul kecil berwarna kuning, kusimpan di bawah bantalku. Sedangkan obat yang lain kuselipkan di bawah tempat tidurku. Mulai hari ini, aku tak mau minum obat. Rencana Papa di mimpiku akan kululuskan, agar kami kembali bersama.
***
Sudah hampir tiga hari ini kulancarkan aksi rahasia. Ajaibnya, Mama, Tante Marissa, juga para tenaga medis di rumah sakit ini tidak mencium gelagat burukku yang sudah tak lagi mengkonsumsi obat-obatan. ECG tidak menunjukkan garis perubahan yang berarti, artinya kondisi jantungku masih stabil saja. Aku kecewa. Lebih kecewa lagi setelah sadar telah begitu merepotkan Mama atas penyakitku ini.
Kutatap wajah wanita yang melahirkanku itu. Begitu layu, tampak kuyu sebab kurang istirahat. Hilir mudik kantor-rumah sakit membuat kondisi fit-nya menurun. Goresan halus berupa kerut di wajah bermunculan, mengakibatkan dia tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Kedua naskah novelku telah selesai, Kurcaci Terbang dan Tempat Terindah. Judul kedua merupakan kisah tentangku selama ini, tertulis begitu detail sebagai kenang-kenangan untuk Tante Marissa yang baik. Kuharap buah karyaku dapat mengobati rindunya padaku di kemudian hari.
"Aku ingin balon, Ma. Balon yang banyak!" pintaku.
Mama mengusap pipiku, lalu dia keluar dari kamar 4a ini untuk menuruti kemauanku. Aku langsung bergerak cepat. Kuhancurkan puluhan butir kapsul berwarna kuning yang kusimpan, lalu kucampurkan pada jus jeruk milikku dan miliknya. Dapat kubayangkan bagaimana reaksi obat tidur itu nantinya pada kami. Semakin cepat obat itu bekerja, semakin cepat perjumpaan kami bertiga.
"Balonnya datang ..."
Tak lama, Mama muncul lagi dengan sepuluh balon berwarna biru di tangannya. Kuminta Mama mengikatnya di samping tempat tidurku, dekat dengan tiang infus. Aku bersorak senang. Dirinya duduk di dekatku, minum jus jeruk bersama-sama. Kutegak minumanku hingga tak bersisa. Mama menggeleng.
"Pesan dokter, batasi minummu, Sayang. Jangan membebani kerja jantungmu. Bukankah cairan infus sudah memenuhi kebutuhan cairan tubuhmu?"
"Tapi aku haus, Ma."
Kulihat mendung mulai menggelayuti wajah Mama saat dia melirik dua botol air mineral ukuran 1,5 liter yang kuminum habis. Api kemarahan juga mulai tersulut di matanya saat kulepas selang oksigen dari hidungku. Tapi kemarahan itu tak dia lampiaskan, dia terlalu menyayangiku. Untuk memupus rasa itu, diminumnya segelas jus jeruk itu hingga tersisa gelas beningnya saja.
Ia lalu semakin mendekat di sisiku. Dibelainya rambut panjang yang kubiarkan tergerai. Kurasakan debaran jantungku semakin kencang. Untunglah kabel-kabel ECG yang melekat di dadaku telah kulepas, karena jika tidak maka garis-garis hijau di layarnya akan meninggi dan Mama bisa tahu kondisi kritisku. Kutahan rasa nyeri yang mulai menyebar di seluruh tubuh. Sekuat tenaga juga kuatur nafasku agar terdengar normal. Sesak ini begitu menyiksa, tapi ini semua demi pertemuan yang kunanti itu.
"Kok Mama merasa tidak enak badan, ya?"
Mama berdiri. Kutunjuk balon-balon pemberiannya, mengisyaratkan agar dibiarkan terbang bebas lewat jendela kamar. Mama menatapku heran, tapi dia tetap memenuhi permintaanku. Setelahnya, Mama membaringkan tubuhnya di sofa, menghadapku yang terus memberikan senyum untuknya.
Mataku menyipit menahan rasa yang luar biasa dalam tubuhku. Dari pandangan yang mulai mengabur, kulihat Mama mulai terkulai lemas. Berhasil! Rencanaku sukses besar. Aku pun masih bisa tersenyum saat nafas terakhir diambil olehNYA.
Kurasakan tubuhku melayang. Bukan, ini bukan lagi tubuh. Aku tinggallah jiwa yang sebentar lagi akan terbang bersama balon-balon biru menuju surga. Aku masih menunggu Mama. Terbayanglah masa-masa indah kami bertiga nantinya, berkumpul berbahagia seperti ketika dulu saat di dunia.
Kupandangi tiap detik kepergiannya yang menyusulku. Keringat dingin menetes di dahinya. Bibir dan kukunya membiru. Perlahan-lahan, jiwanya keluar dari tubuh. Kuulurkan tanganku, menyambut jiwa yang akan menemaniku melayang menemui Papa yang sudah menunggu kami di surga.
Tak sepertiku, dia tak menunjukkan ekspresi kegembiraan di wajahnya. Bahkan, air mata terus menetes di pipi. Aku kecewa. Kupikir Mama akan bahagia karena kami bertiga akan berjumpa, bertemu sosok yang sangat kami sayangi.
Pertanyaan besar tentang kesedihan Mama yang menghinggapi kepalaku, akhirnya terjawab sudah. Sebuah tawa keras dari sosok menyebalkan membuatku terkejut. Sial! Begitu bodoh aku tertipu olehnya. Iblis lalu tak ada hentinya berganti rupa dari sosok Papa ke sosok aslinya yang begitu menjijikkan. Sama menjijikkannya dengan pikiran sempitku untuk mengakhiri hidup, melawan kehendakNYA.
Catatan kaki:
[1] selang oksigen tanpa masker
[2] penghubung atrium kanan dengan ventrikel kanan sehingga darah dapat mengalir dari jantung, paru-paru dan ke seluruh tubuh
[3] elekrokardiogram, yaitu alat pencatat ritme dan jumlah detak jantung per menit
Bikin tertegun baca endingnya... >_<