oleh: Nuel Lubis
Seharusnya hari yang cerah ini mendorong seseorang untuk menerbitkan senyuman terlebarnya. Seyogyanya begitu. Coba lihat, matahari tak bersinar begitu menyengat. Tak ada tanda-tanda bakal hujan. Sungguh cuaca yang begitu sempurna. Jauh lebih enak jikalau kita menggunakannya untuk seharian penuh bergolek di atas buntalan kapuk.
Namun hal sebaliknya berbeda dengan Imran, pelajar SMA Kartika Jaya yang cukup nerdy dengan kacamata minus tebalnya. Di hadapan keempat temannya yang begitu menghayati makan makanan siang mereka, ia menekuk bibir dan mengeluh panjang lebar:
“Bro, gue bosen jadi orang baik. Jadi orang baik itu dimanfaatin mulu sama orang lain.”
Keempat temannya – dua perempuan dan dua laki-laki – membulatkan mata ke arah remajaa kutu buku tersebut. Salah satu dari mereka, Rizal menggubris terlebih dahulu. Tentunya sambil cengar-cengir saking lucunya. “Kenapa lagi, lu?”
“Iya, gue bosen jadi orang baik. Gue bosen lihat orang-orang manfaatin kebaikan yang gue kasih mereka. Contohnya itu, tadi pagi. Banyak anak-anak yang nyalin PR gue biar dapet nilai. Dan saat gue minta buat berpartisipasi ikut acara amal, nyaris nggak ada satu pun dari mereka yang ikut.”
“ – yah kecuali lu berempat sih,“ ralat Imran.
“Tapi lu berempat nggak masuk hitungan juga. Kalian udah gue anggap kayak saudara sendiri.”
Biondi hanya terkekeh.
Sheila tersenyum seraya berkata, “Jadi kamu nggak ikhlas nih, kasih lihat PR-mu ke teman-teman yang lain?”
“Iya, Bro,” timpal Rizal lagi. “Ngelakuin apa-apa itu harus ikhlas. Pahalanya gede lho.”
“Alah, lu bilang kayak gitu karena lu juga nyontek juga kan,” ujar Imran tersenyum sinis.
“Yah…” Agak pasi Rizal menjawab. “…tapi gue ikutan nyumbang kan…”
“Lu nyumbang juga, pasti karena nyokap kita itu temenan. Kalau nggak, pasti lu sama kayak yang lain.”
Rizal hanya terkekeh, tanpa mengeluarkan tutur kata lagi.
“Yah kalau menurut gue sih, Im,” kata Nindi mulai angkat bicara. “Benar juga sih yang dibilang Rizal. Lu harus ngelakuin apa-apa itu ikhlas. Lagian menurut gue yah, lu itu nggak salah berbuat baik ke beberapa orang. Cuma mungkin cara lu yang agak keliru. Lu nggak tegas sih.”
“Udah, mending lu minum dulu gih jus alpukat ini,” Biondi mengangsurkan sebotol plastik jus alpukat. “Udah, minum aja. Belum gue minum kok. Lumayan kan buat redain kepala lu gara-gara praktek Kimia barusan. Sama, Bro, gue stress abis ngerjainnya.”
“Yah pokoknya gue bosen jadi orang baik. Titik. Nggak pake koma.” tegas Imran dengan tatapan setajam burung elang yang hendak meraup mangsanya.
Credit to: Felix Salvata |
Sejak kejadian di kantin, sepertinya Imran sungguh mempraktekan ucapannya. Ia benar-benar mencoba untuk menjadi anak badung. Beberapa pekerjaan rumah tak diselesaikannya. Ia pun mulai berani mengisengi beberapa murid dan guru.
Ambil contoh, ia sengaja menyenggol dengan cukup lantam mobil sedan sang pentolan kelas dua belas, Jack. Alhasil Jack jadi beringas; selain menyebabkan bunyi alarm yang begitu menderu-deru. Untung saja Rizal dan Biondi sigap melindunginya dari pukulan demi pukulan dari pelajar bertinggi 176 centimeter itu (Selisih sepuluh centimeter dari Imran).
Atau saat ia ikut-ikutan yang lain meledeki Bu Hotma yang memang kental logat Batak-nya. Bu Hotma sempat terheran-heran melihat kelakuan Imran yang tak lazim dilakukan anak laki-laki tersebut. Saat dijadikan bahan rumpi di ruang guru, guru-guru yang lain juga mengeluhkan hal yang sama. Tapi mereka semua menganggap bahwa Imran mungkin tengah mengalami yang namanya puber. Mungkin anak laki-laki tengah diserang virus cinta. Tiap pelajar SMA kan pasti pernah mengalami puber dan jatuh cinta.
Masuk akal sih kalau para guru menganggap Imran sedang jatuh cinta. Harus kita akui, virus cinta itu memang sanggup mengubah seorang anak manusia. Bukankah pernah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘jangan berubah demi seseorang, tapi berubahlah karena cinta’?
Sudah banyak terjadi seseorang yang tadinya baik-baik, malah berubah haluan menjadi psikopat dengan membakar hidup-hidup orang yang ditaksirnya. Banyak pula contohnya seseorang yang rela bolak-balik masuk gym demi terlihat perkasa di hadapan gadis yang disukai.
Dan karena itulah, guru-guru sepakat bahwa mungkin Imran tengah jatuh cinta. Semua yang remaja lelaki itu lakukan, semata-mata demi terlihat menarik di mata perempuan yang ditaksirnya. Hmm, para guru tersebut jadi penasaran. Siapa yah pelajar putri yang beruntung jadi objek jatuh cinta cowok nerd itu. Soalnya para guru nyaris tak pernah melihat Imran hanya berdua saja dengan seorang murid perempuan sih.
*****
Dua minggu setelahnya. Kita masih tetap kembali ke kantin. Mereka berlima selalu menempati meja yang terletak di pojok kanan kelas. Iya, mereka: Imran, Rizal, Biondi, Sheila, dan Nindi. Mereka berlima memang sudah dikenal para murid karena selalu berkumpul berlima. Seperti sebuah geng. Tapi mereka selalu menyangkalinya.
Alasan mereka: geng itu memiliki ketua. Sementara mereka tidak. Semuanya berada dalam kedudukan yang sama tinggi. Mereka juga melakukan aksi yang aneh-aneh. Mereka paling hanya lebih sering hang-out ke mall buat menonton film atau makan sambil menikmati fasilitas wifi gratis.
Yah kalau mereka sering tampil berlima, itu ada alasan tersendiri. Mereka berlima itu merupakan satu-satunya murid peninggalan dari SD Kartika Jaya. Kebanyakan alumni SD – dan pula SMP Kartika Jaya – sudah banyak yang berekspansi ke sekolah-sekolah lainnya. Yang tersisa itu hanya mereka berlima.
Selain itu, selain karena faktor alumni SD Kartika Jaya, kita tak bisa melupakan fakta bahwa kelimanya tinggal di komplek perumahan yang sama. Dua orang malah hidup bertetangga. Itu adalah Imran dan Rizal.
“Jadi gimana, Bro?” kata Rizal nyengir. “Udah puas jadi orang jahatnya?”
Imran menghela napas. Dimainkannya bakso-bakso yang berada dalam mangkok. Desahnya: “Kayaknya gue nggak cocok jadi orang jahat deh.”
“Tampang lu culun sih.” ledek Rizal. Yang lain hanya terkekeh mendengarnya.
“Sialan lu.” desis Imran dengan rahang sedikit menegang.
“Maaf, maaf deh,” ujar Rizal memijat-mijat sebelah lengan Imran. Mungkin dengan cara seperti itu, emosi sahabatnya itu bisa mereda.“Lagian kenapa sih lu ngomong kayak gitu? Kan jadi anak nakal itu enak. Bisa bebas gitu hidupnya. Nggak perlu sok jaim juga.”
Lagi-lagi yang lain hanya terkekeh.
Kali ini, Biondi ikutan menimbrung, “Bego lu, Zal. Hidup bebas sama jadi anak nakal itu nggak berhubungan lagi. Kita bisa kok hidup bebas tanpa harus nakal dulu. Dan sekarang ini, kita jadi manusia-manusia bebas kan. Bebas hang-out bareng, bebas nonton, bebas wifi-an, hingga bebas cengar-cengir kayak orang gila.”
“Iye-iye, gue nggak usah diceramahin kali. Udah kayak ustad lu.” sembur Rizal yang mungkin rada tersinggung. “Mending lu ceramahin si Imran ini,” Rizal melirik kembali sahabatnya yang juga hobi main game online.
“Eh, Im. Jawab tadi pertanyaan gue, kenapa lu bisa bilang – lu itu nggak cocok jadi orang jahat.”
“Iya, Im, kenapa sih?” imbuh Sheila. Imran menghela napas lagi. Lalu ia pun mulai mengutarakan isi hatinya.
“Iya, Sob. Gue baru sadar gue ini kayaknya emang ditakdirin jadi anak baik-baik. Tiap kejahatan yang gue lakuin pasti buntut-buntutnya malah jadi kebaikan buat korban gue. Kayak kasus si Jack waktu itu. Yah dia emang sih awalnya marah. Eh besoknya dia malah nyamperin gue buat minta maaf. Katanya, kalau bukan karena gue, dia nggak mungkin jadi bisa punya uang saku tambahan dari orangtuanya.
Atau contoh lainnya lagi, pas gue nggak mau kasih contekan dengan alasan belum bikin. Awalnya gue sempat dimaki-maki anak-anak sekelas. Tapi sewaktu Pak Pur masuk kelas, dia malah bilang tugas yang kemarin, dia itu salah kasih. Itu seharusnya emang tugas Pak Pur dari kesibukannya sebagai mahasiswa S-2. Gue sih sebetulnya bisa ngerjainnya. Tapi kebayang kan kalau gue kerjain bakal gimana jadinya. Makin curigalah Pak Pur, kenapa anak kelas 12 SMA bisa ngerjain tugas seorang mahasiswa S-2?”
Rizal, Biondi, Nindi, dan Sheila tergelak lebar. “Belum lagi saat gue ikutan ngeledekin Bu Hotma. Eh gue malah jadi bahan gosip di ruang guru. Guru-guru malah pada jadi cengar-cengir nggak jelas tiap ketemu gue. Atau saat gue gembosin ban motornya Ilham. Si Ilham malah bersyukur ke gue. Soalnya dia jadi bisa nunjukin ke gebetannya keahliannya ngotak-ngatik. Yah secara kan gebetannya itu demen sama cowok yang suka ngotak-ngatik mesin.” “Yah pokoknya masih banyak deh contoh lainnya. Kayaknya gue beneran nggak bakat jadi orang jahat.”
Nindi terkikik. “Lagian kenapa sih harus nyoba jadi orang jahat, Im? Gue malah lebih suka sama cowok baik-baik ketimbang cowok yang brengsek. Dan cowok kayak lu itu langka lagi, Im – yang suka bantuin orang tanpa pikir panjang. Jujur aja nih, gue jauh lebih cowok yang terlalu baik kayak lu, Im.”
Pada saat Nindi selesai mengatakannya, ada yang berdeham-deham menggoda. “Kayaknya bakal nambah pasangan baru ni di kelas 12 IPA 2,” seloroh Rizal.
“Apaan sih lu, Zal?” ucap Nindi yang tak bisa menahan munculnya semburat merah muda di kedua pipinya. Sepertinya gadis berambut keriting dan panjang itu menyadari ada yang salah dengan ucapannya tadi.
“Iya, Zal,” timpal Imran yang sama sekali tak peka. “Maksud lu apaan sih ngomong gitu?”
Rizal tertawa ngakak sengakak-ngakaknya. Biondi juga ikut serta. Sementara Sheila, gadis berkacamata dengan rambut selalu diikat itu hanya tersenyum saja. Nindi? Dalam hati gadis itu kesal juga. Tapi ada semburat rasa senang juga. Bayangkan saja, bagaimana jadinya mood seorang Nindi andaikata Imran itu peka? Hmm…
“Imran, Imran,” kata Biondi. “Masa sih lu nggak peka kata-kata Nindi barusan? Dia tadi tuh barusan nyatain perasaannya ke lu.”
Saat Imran merespon dengan “Hah?”, Nindi pura-pura hendak ke perpustakaan untuk mencari referensi mengerjakan karya tulis pelajaran Sejarah. Menyaksikan kesalah-tingkahan gadis itu, baik Rizal, Biondi, serta Sheila jadi tertawa. Hanya Imran yang masih terbengong-bengong sembari menantikan penjelasan lebih lanjut dari ketiga sahabatnya itu.