Oleh: Aminocte
Kakek Ali geram bukan kepalang. Ia tak habis pikir mengapa balsem Tarason kesukaannya itu tidak tersedia lagi di rumahnya. Hesti, anak sulungnya itu semestinya tahu, bahwa hanya balsem itu yang ampuh meredakan nyeri yang mendera sendinya. Bukan balsem lain yang aromanya pedas menyengat bercampur cengkeh, bukan pula krim analgesik yang setiap hari iklannya tayang di televisi.
Tarason itu hanya balsem murah dalam kemasan pot plastik kecil. Aromanya enak, khas minyak gandapura. Hangatnya pas, alih-alih panas membakar seperti merek lain. Semasa muda, Kakek Ali gemar mencoba balsem milik neneknya. Dari sanalah ia tahu dan hapal dengan berbagai merek balsem beserta kelebihan dan kekurangannya. Tarason adalah satu-satunya merek yang lulus seleksinya kala itu, sehingga merek itu pulalah yang terus digunakannya hingga kini.
“Sudah tidak ada lagi yang menjual balsem itu di pasar, Pak. Lagipula Bapak ini, sudah dibilang jangan makan kacang, jangan makan jeroan supaya encoknya tidak kambuh.”
Credit to: Felix Salvata |
Pria tua itu bersungut-sungut, dahinya mengerut. Memangnya sejak kapan dia makan kacang dan jeroan? Sehari-hari hanya sayur rebus dan olahan tahu atau tempe yang menjadi teman makannya. Apa hendak dikata? Giginya sudah tak lengkap, tidak sanggup lagi mengunyah makanan yang keras dan liat. Biarlah orang-orang muda yang merasakan lezatnya mengunyah dan mencecap makanan lezat.
“Si Burhan saja masih membawa-bawa Tarason tadi subuh ke mushalla. Tidak mungkin balsem itu tidak dijual lagi.” Hesti terlihat kesal. Bapaknya akhir-akhir ini semakin keras kepala, setidaknya itu menurut pendapatnya. Meskipun demikian, beliau benar, balsem itu memang ada, hanya saja sudah sulit dicari. Wanita itu tidak hendak menambah penat badannya dengan memutar-mutar pasar dan memeriksa seluruh toko obat yang ada di sana. “Itu sudah Hesti belikan balsem yang baru. Lebih bagus dari Tarason, kata kawan
Hesti yang punya apotek. Buatan luar negeri lagi. Bapak pakai saja balsem itu, ya?”
“Tahu apa kawanmu itu soal Tarason. Dia baru seumur jagung, sama sepertimu. Generasi kalian mana kenal dengan Tarason?”
“Terserah Bapak saja lah. Hesti berangkat kerja dulu, Pak.” Wanita itu beringsut ke depan, mencium tangan lelaki yang membesarkannya.
Kakek Ali diam saja. Baru ketika anaknya itu menghilang di balik pintu, ia bergumam pelan. “Wa’alaikumussalam."
*****
Hesti tak henti-hentinya tersenyum. Walaupun ia sempat jengkel karena bapaknya bersikeras untuk menggunakan Tarason, dicobanya juga mencari ke deretan toko obat yang berhadap-hadapan dengan terminal angkutan kota. Pada toko keempat, balsem itu ditemukannya. Hesti memutuskan untuk membeli lima pot sekaligus untuk cadangan. Biarlah uang belasan ribu rupiah habis daripada masuk neraka karena tidak memenuhi keinginan orangtua.
Ah, bapaknya pasti akan senang dengan kejutan ini.
Rumah itu senyap saat Hesti membuka pintu. Biasanya ada suara kemerasak radio atau ribut-ribut dari salura televisi yang silih berganti. Kalau tidak, ada lantunan ayat suci yang mengalun dari kamar Kakek Ali. Paling tidak, bunyi kecipak air dari kamar mandi atau dari wastafel dapur.
Namun, kali ini, Hesti tidak mendengar suara apa-apa.
“Pak?” Hesti memanggil bapaknya dengan ragu di sela-sela langkah kakinya yang berderap cemas. Dibukanya pintu kamar bapaknya. Kosong. Tidak ada orang. Wajah wanita itu memucat, jantungnya seolah terhenti untuk sesaat. Ia hendak bergegas ke luar kamar untuk menelusuri setiap ruangan, tetapi urung karena menemukan secarik kertas di atas meja.
Assalamu’alaikum, Hesti.
Bapak ke pasar, mau cari Tarason. Kata si Burhan, ada di toko obat dekat terminal. Hanya itu satu- satunya toko yang menjualnya.
Insya Allah tidak akan lama. Bapak akan segera pulang kalau Tarason itu sudah ketemu. Jangan cemas.
Hesti terduduk lemas. Ia sudah menghabiskan stok terakhir Tarason di toko itu. Itu berarti, bapaknya tidak akan pulang kecuali ada keajaiban yang menurunkan Tarason dari langit. Atau menumbuhkan balsem mungil itu dari bumi.
Wanita itu tidak punya pilihan lain.
Ia harus mencari bapaknya sekarang juga.
Lucuuuuk.... Tapi rada ngenes baca endingnya.
@Bang Nuel: Makasih sudah baca, Bang :)