oleh: Alethea Yoris
“When I see your sad tears, what I must do is unclear. I assure you my shoulder will be always there for you..” kata Orion.
“Lin,” panggil Orion.
“Hai, Ri.” balas Lin dengan senyum yang dipaksakan.
“Hari ini kan hari selasa, kenapa kamu datang ke sini?“
“Kamu juga, kenapa ada di sini?”
“Entahlah. Rasanya ada sesuatu yang menarikku ke sini. Radarku kuat ya, ternyata kamu ada di sini juga.“ Orion mencoba mencairkan suasana.
Sepasang ayunan di taman kecil. Tempat pertama Lin dan Orion bertemu. Kini menjadi tempat yang setiap sabtunya selalu mereka kunjungi demi mencari ketenangan dan pendar Polaris di langit malam.
“Aku lelah… “ jawab Lin, kemudian mengayuhkan ayunannya. Pelan.
Ada jeda panjang. Orion tau, Lin tidak mau diganggu saat ini. Dia hanya memerlukan seseorang duduk diam di sampingnya.
Lin yang menatap langit dengan pandangan kosong dan Orion yang tidak dapat melepas matanya dari wajah muram disampingnya. Lin semakin mendongakkan kepalanya, memaksa air mata yang sudah menggenang agar tidak terjatuh. Namun gaya gravitasi tak bisa dikalahkan.
“Lin…”
“Jangan dekati aku, Ri. Aku malu.” Lin tidak ingin Orion melihatnya menangis.
“ Aku tidak akan melihatmu menangis, Lin. Menangislah sampai kamu merasa lega.”
Orion berdiri memunggungi Lin. Tanpa dapat ditahan lagi, Lin menjatuhkan banyak air mata. Lin memeluk Orion dan melepaskan rasa sakitnya kepada punggung yang kokoh itu.
Tangis Lin kemudian berubah menjadi isakan kecil dan akhirnya berhenti, namun Lin masih memeluk punggung Orion, masih ingin bersembunyi di sana.
“ Makasih…Ri” ucap Lin, lirih.
“Untuk apa? Aku tak melakukan apapun untukmu.”
“Banyak Ri, makasih untuk diammu menemaniku dan untuk punggung ini..” Orion berbalik, menatap mata sembab Lin.
“Percayakah kamu padaku? Beban yang kamu tanggung terlalu berat, Lin. Berbagilah, aku disini untukmu.” “Bisakah aku percaya padamu?” Lin balik bertanya dan dibalas dengan anggukan mantap oleh Orion.
Catlin yang selalu menyembunyikan isi hatinya, menyembunyikan permasalahan-permasalahan hidupnya, sedikit demi sedikit mulai mengungkapkannya. Benar kata Orion, dia sudah terlalu lama berjuang sendiri, terlalu banyak beban yang dia tanggung sendirian. Dia memerlukan orang lain untuk berbagi dan Orion adalah orang yang tepat.
“Maaf ya Orion, aku cengeng banget. Gak seharusnya nangis,” ucap Lin setelah berbagi banyak hal dengan Orion.
“Gak ada yang salah dengan menangis, Lin. Makasih kamu percaya padaku. Jangan ada lagi yang ditutup-tutupin ya, Lin. Sekarang, tidak hanya di hari sabtu saja, tapi kita bisa bertemu kapan pun. Dan mudah-mudahan aku bisa selalu menepati setiap janji bertemu kita di hari-hari yang akan datang.”
Lin mengangguk. Hatinya lega.
“Hei, bintang polarisnya muncul!” seru Orion sambil menunjuk langit.
Polaris. Si Bintang Harapan. Kini aku punya dua Polaris, yang dilangit dan di hadapanku--gumam Catlin.
I’ll spend every second of my life, to try and make you happy all the time. Just know that I’ll be there for you--balas Orion dengan gumaman.
Kisah Catlin dan Orion lainnya : Bintang PalingTerang
Gue selalu iri sama mereka yang bisa nulis cerpen dengan gaya bahasa yang penuh majas kayak begini. Gue sampai sekarang masih belajar soal itu.