oleh: Aminocte
Gita mengeluh dalam hati. Ia bosan mendengar ocehan Yuna tentang martabak manis yang baru dibawanya. Martabak itu tebal, berlapis meses, parutan keju, dan kucuran susu kental manis yang royal. Permukaannya masih hangat, menguarkan aroma mentega yang menggoda.
“Martabaknya enak banget lho, Git. Nyesel kalau kamu nggak coba.”
Kalimat bujukan itu entah sudah berapa kali didengar oleh Gita. Namun, ia tidak mengacuhkannya. Membayangkan kalori yang terkandung dalam sepotong martabak saja sudah membuatnya ngeri. Secangkir besar adonan yang terdiri dari tepung, telur, dan gula dituangkan ke atas loyang yang dilapisi mentega, kemudian ditaburi gula pasir, dan dimasak hingga matang. Saat diangkat, permukaan bagian dalam adonan akan dilapisi mentega, ditaburi bahan isi, dilipat, lalu dibaluri olesan mentega sekali lagi sebelum dipotong. Butuh berapa porsi latihan fisik untuk membakar kalori sebanyak itu?
“Nggak usah, Na, makasih.” Gita berusaha untuk menolak dengan halus. Yuna mendesah kecewa. Gadis berambut panjang itu mengambil sepotong martabak dan mengunyahnya pelan-pelan. Sementara itu, Gita memilih untuk kembali menekuni tugas makalahnya yang sempat tertunda.
Dokumentasi Immanuel's Notes |
Kalau boleh jujur, sebenarnya Gita bukannya anti terhadap martabak manis, yang di daerah tempat tinggalnya disebut martabak bandung, sementara di beberapa daerah lain disebut kue terang bulan. Sewaktu kecil, ia sangat menggemari makanan itu karena pengaruh orangtuanya. Orangtua Gita kerap membeli martabak manis untuk menemani suasana santai malam minggu. Rasa favoritnya adalah cokelat keju atau cokelat kacang, sama sekali tidak berbeda dengan favorit ayah dan ibunya. Semua kalkulasi kasarnya mengenai kalori yang terkandung dalam sepotong martabak manis itu hanya alasan untuk mementahkan tawaran Yuna.
Namun, sejak Pak Didi, penjual martabak langganan mereka berhenti berjualan sejak delapan tahun yang lalu, lama-kelamaan Gita seolah lupa dengan kegemarannya terhadap makanan yang satu itu. Menurutnya, tidak ada orang yang bisa membuat martabak seenak buatan beliau. Padahal, yang disukai Gita bukan hanya rasa martabaknya, melainkan juga cara beliau menyiapkan martabak, mulai dari menuang adonan ke dalam loyang hingga mengemasnya ke dalam kotak karton. Rangkaian proses pembuatan itu telah menjadi semacam atraksi yang selalu diamati Gita baik-baik sembari menunggu pesanan ibunya.
Beberapa kali Gita melihat penjual martabak lain sejak saat itu, tidak ada yang menandingi ketelatenan Pak Didi dalam membuat martabak. Wajar bila gadis itu menutup mata untuk tawaran Yuna, semenggiurkan apa pun kedengarannya.
*****
Senja ini, Gita terjebak dalam antrean pembeli di depan salah satu gerobak penjaja martabak manis. Karena tidak ingin menunggu angkot dari kampus, gadis itu meminta bantuan Yuna untuk menjemputnya selepas bekerja di laboratorium. Yuna tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaannya dengan satu syarat yaitu menraktir martabak manis yang akan dibelinya di perjalanan pulang. Mau tidak mau, Gita terpaksa menyetujui syarat yang diajukan sahabatnya itu.
Lima belas menit setelah mengantre, mereka berdua mendapat giliran untuk dilayani.
“Mau rasa apa, Kak?” tanya salah seorang penjual martabak dengan ramah.
“Cokelat keju, Fahri. Biasa…,” jawab Yuna sambil cengar-cengir, yang dibalas si penjual dengan senyum simpul.
Gita melirik sahabatnya yang mulai tersipu-sipu. Pandangannya teralih kepada si penjual yang sedang membersihkan loyang martabak dengan cekatan. Orangnya masih muda, perawakannya jangkung, dan wajahnya bersih. Bila ditaksir, sepertinya usianya tidak jauh berbeda dengan mereka berdua. Penampilannya yang cukup menarik mungkin menjadi salah satu alasan Yuna untuk berlangganan di tempat ini. Setidaknya itu menurut asumsi Gita.
Namun, menit-menit berikutnya, perhatian Gita tertuju pada setiap gerakan lelaki yang dipanggil Fahri itu. Gerakan tangannya lincah, tetapi tidak sembrono. Mulai dari menyiapkan loyang, menuangkan adonan, menambahkan gula dan mentega dengan takaran yang sesuai, menambahkan cokelat meses dan keju parut beserta susu kental manis dalam jumlah berlimpah, memoles permukaan luar martabak dengan mentega, hingga memotong dan mengemas martabak, semuanya mengingatkan Gita akan Pak Didi, penjual martabak favoritnya. Bila diamati lebih dekat, letak bahan dan alat di gerobak itu juga mirip dengan gerobak Pak Didi yang kerap Gita lihat waktu kecil.
“Harganya empat belas ribu, Kak,” ujar Fahri sambil menyerahkan bungkusan berisi martabak pesanan mereka. Yuna mengambilnya setelah mengucapkan terima kasih. Menyadari tak ada reaksi lebih lanjut dari Gita, Yuna mencolek lengan sahabatnya itu. Gita tersentak.
“Apa, Na?” tanya Gita, gelagapan.
“Belum dibayar, Git. Empat belas ribu,” jawab Yuna setengah berbisik. Dengan cepat, Gita mengambil beberapa helai uang kertas dari dalam dompetnya, kemudian menyerahkannya kepada Fahri.
“Terima kasih, Kak. Selamat menikmati,” ujar lelaki itu dengan ramah. Senyum tidak lepas dari wajahnya yang entah mengapa, bagi Gita terlihat begitu teduh. Gadis itu balas tersenyum, begitu pula dengan Yuna.
Seharusnya Gita dan Yuna segera pergi dari tempat itu, mengingat masih ada beberapa orang yang mengantre di belakang mereka. Namun, Gita tidak ingin pikirannya disesaki oleh rasa penasaran. Ada pertanyaan penting yang harus menemukan jawabannya sekarang juga.
“Ngg..itu, saya ingin tahu. Caramu membuat martabak tadi mirip sekali dengan penjual martabak langganan orangtua saya dulu. Namanya Pak Didi. Kalian ada hubungan keluarga?” tanya Gita, berusaha untuk tidak terdengar bertele-tele.
“Saya anaknya Pak Didi. Beliau sudah tidak kuat lagi bekerja, makanya saya meneruskan usaha ini, dibantu kakak sepupu saya.” Fahri menjelaskan sambil melirik salah seorang lelaki yang sedang bertanya kepada dua orang ibu-ibu di belakang Yuna. “Kalau soal rasa, tidak usah Kakak ragukan lagi. Semua resep dan cara pembuatannya insya Allah persis dengan martabak yang dijual Bapak saya dulu.”
Gita menganggukkan kepalanya. “Saya mengerti. Terima kasih, ya.”
“Sama-sama, Kak.”
Pertanyaan Gita terjawab sudah. Melihat antrean yang bertambah panjang, seharusnya gadis itu tidak perlu ragu dengan penjelasan Fahri. Namun, ia akan membuktikannya nanti saat tiba di kamar indekosnya dengan Yuna. Bila martabak yang baru mereka beli memang selezat martabak langganan orangtuanya, Gita akan mengakhiri perang dinginnya dengan martabak manis.
Aroma mentega menguar dari dalam kotak martabak, menggelitik indera penghidu Gita. Menggoda, melemparkannya ke dalam gulungan kenangan. Rasa skeptis gadis itu selama ini telah menutup dirinya dari kenikmatan yang sudah lama tidak dirasakannya. Seharusnya, ia menerima tawaran Yuna untuk mencicipi martabak manis itu sejak awal. Toh, rasa favorit mereka berdua sama-sama cokelat keju.
Gita menoleh sejenak ke belakang. Benar kata Yuna, senyum Fahri semanis martabaknya.
Hebat juga, berhasil memenuhi tantangan Pimred-nya. Jujur. cerpennya benar-benar berbau food lho. Hahaha
@AOMagz: Makasih yaa :)