oleh: Nuel Lubis
Aku punya cerita soal sebuah kemunafikan. Beginilah ceritanya.
“Mulai hari ini, sekolah kita punya kantin kejujuran…” seru Pak Rintis, kepala sekolah SMA Cengli.
Besoknya, dan seterusnya, sekolahku – SMA Cengli – akhirnya mengikuti arus yang terjadi di negeri ini. Semenjak angka korupsi terus menanjak, banyak sekolah yang mendirikan kantin kejujuran. Kata mereka sih, kantin kejujuran itu bertujuan untuk melatih kejujuran.
Ya ampun. Terkadang aku jadi suka terpingkal sendirian. Bukan, bukan untuk niat sejumlah sekolah mendirikan kantin kejujuran itu. Aku malah menertawakan kantin kejujuran di sekolahku sendiri. Terutama untuk para pengelola kantin kejujuran.
Awal berdiri, sebulan-dua bulan, hingga akhirnya nyaris setahun, sejumlah guru mengeluh soal kantin kejujuran. Yang kudengar, kantin kejujuran itu malah bikin defisit anggaran sekolah.
Aku terbelalak. Kawan-kawan terbelalak. Bagaimana bisa sebuah kantin yang didirikan dengan niat mulia malah bisa membuat defisit anggaran? Dan… ayolah, mengelola kantin kejujuran juga tak seberat mengelola beberapa klub ekstrakurikuler. Dana yang dibutuhkan juga, menurut analisaku, tak terlalu besar.
Tambah menjengkelkan lagi, kami semua dicurigai habis-habisan. Para guru mencurigai bahwa mungkin pelakunya ada di antara murid-murid SMA Cengli. Entah itu seniornya, entah itu juniornya. Semuanya habis dilibas para guru SMA Cengli yang seharusnya lebih introspeksi. Mungkin saja kan ada juga guru yang menyalahgunakan keberadaan kantin kejujuran.
Namun itu dia. Sekali murid, tetaplah murid. Selalu berada dalam posisi sulit untuk membantah seorang guru. Kudengar ada sebuah selentingan nakal: guru merupakan orang yang tak boleh kita lawan, selain orangtua kita sendiri. Selain itu, masa depan kami, para murid, berada di tangan mereka – para guru. Pemberontakan kami tentunya akan berujung terhadap kelulusan; atau kenaikan kelas untuk adik kelas yang masih duduk di kelas 10 dan 11.
Serba salah, bukan? Maka dari itu, aku dan kawan-kawan memilih untuk memberontak dalam jalan damai, jalan yang sunyi. Tak ada aksi demonstrasi dengan membawa baliho atau spanduk protes. Tiada sama sekali.
Protesku dan kawan-kawan ialah… kami lebih memilih untuk tidak mengunjungi kantin kejujuran lagi. Lebih baik memutar jalan yang lebih jauh dan sedikit ribet, daripada harus mendapatkan seringaian menyebalkan dan kecurigaan yang super brengsek. Walau beberapa guru sering memancing kami untuk melewati kantin kejujuran, kami terus bersikukuh untuk tidak menghampiri atau sekadar lewat kantin kejujuran. Begitu terus hingga menjelang ujian nasional. Dan aksi kami ditiru oleh adik kelas.
Guru-guru mulai kalang kabut. Stress sendiri. Bingung setengah mati. Kenapa kerugian yang diakibatkan oleh kantin kejujuran tersebut semakin menjadi? Apalagi demi mengusut siapa pelakunya, mereka sampai memasang CCTV. Kinerja satpam sekolah lebih digencarkan pula.
Kantin kejujuran semakin merugi. Walau terus saja merembet ke kas sekolah, Pak Rintis tetap saja ngotot untuk terus meneruskan usaha yang katanya mulianya itu. Aku dan kawan-kawan – selaku anak kelas 12 – hanya bisa mengelus dada sembari mengucapkan salam perpisahan.
*****
Dua tahun telah berlalu. Aku bukan lagi bagian dari SMA Cengli lagi. Kini aku seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta yang ada di kota metropolitan. Aku juga sudah tak pernah menginjakan kaki di sekolah tersebut.
Bukan, bukan karena aku mendendam. Aku sama sekali tidak mendendam dengan para guru dan kepala sekolahnya. Aku tetap memberikan respek kepada mereka semua yang telah mengajarkan banyak hal padaku. Aku tetaplah seorang manusia yang tahu bagaimana cara membalas budi. Diriku hanyalah gemas dengan sikap beberapa guru yang sepertinya menganggap anak didiknya itu seorang maling.
Alasanku tidak pernah bertandang ke sekolah lamaku itu ialah karena kesibukanku sebagai seorang mahasiswa. Aku terus digempur oleh tugas kuliah dan aktivitas berorganisasi. Sulit mencari waktu berkualitas untuk sekadar relaksasi atau bersenang-senang selayaknya remaja umumnya.
*****
Mataku terbelalak membaca artikel yang tertera di sebuah surat kabar. Membaca nama pelakunya spontan menggiringku ke ingatan bertahun-tahun silam di sebuah sekolah bernama SMA Cengli. Adalah nama Rintis Gunawan yang menjadi sebab-musababnya.
Di sana tertulis bahwa Rintis Gunawan menjadi tertuduh atas kasus plagiarisme skripsi. Plagiarisme itu dilakukan beliau semata-mata agar mendapatkan gelar S1 untuk kepentingannya sendiri, demi bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Aku segera menelepon salah seorang alumni SMA Cengli. Percakapan dimulai.
“Halo, ini siapa yah?”
“Ini gue, Jontol. Teman lu di SMA Cengli. Masih ingat nggak?”
“Oh lu, Jon, apa kabar? Baik-baik aja kan? Tumben ngehubungin gue.”
“Iya gue baik-baik aja. Omong-omong, lu baca Swara Amanah nggak?”
“Iya, gue udah baca. Emangnya kenapa?”
Baru saja akan mengutarakan tujuan aku menghubunginya, ia sepertinya bisa menebak jalan pikiranku. Katanya: “Jangan bilang lu hubungin gue karena artikel itu lagi?!”
Aku mengangguk. “Iya, Bro. Nggak nyangka yah, ternyata Pak Rintis bisa tersandung kasus plagiat. Padahal beliau selama ini, yang gue kenal, merupakan orang yang berintegritas.”
“Ha-ha-ha…” Teman itu tergelak dengan lumayan kencang. “Lu kemana aja, Mas Bro? Lu kayaknya banyak ketinggalan informasi nih. Lu tahu nggak, sebelum kasus plagiat itu, Pak Rintis pernah tersandung kasus korupsi juga. Ternyata selama ini, orang yang bikin kas sekolah mengalami defisit itu Pak Rintis sendiri. Diam-diam beliau sering mengutil barang dagangan kantin kejujuran tanpa membayar. Dan pihak sekolah yang jadi kena getahnya. Kasus itu sendiri pernah bikin geger lho. Pak Rintis nyaris saja dibui – yang pada akhirnya, beliau hanya diberhentikan secara tidak hormat.”
Aku termangu. Mulutku sulit mengatup. Ternyata eh ternyata, sosok yang kukenal selama ini sebagai orang yang keras, berdisiplin dan berintegritas itu tersandung dua kasus memalukan. Mungkin saja selama ini, selama ia menjabat sekian lama sebagai kepala sekolah, ia hanya memakai topeng. Siapa yang tahu juga kan.