oleh: Nuel Lubis
"Maaf, Sam. Aku nggak bisa terima cinta kamu.”
Begitu tuturmu setelah aku menembakmu. Segala usahaku untuk menyatakan perasaan, langsung kau sapu begitu saja – dengan telunjukmu yang mengarah ke kerudung yang menutupi rambut indah tersebut.
Yah, aku yakin sekali, di balik kerundung hijau daun itu, pasti ada sebuah geraian panjang rambut terindah di dunia ini. Tiada perempuan manapun yang bisa mengalahkan rambut indahmu. Miss Universe pun tak bisa menyainginya.
Kamu pasti penasaran, mengapa aku bisa yakin soal itu?
Tidak, tidak, tidak. Aku sama sekali belum pernah melihatmu melepas jilbab itu. Segala foto di akun media sosial-mu juga tak ada yang mempertontonkan keindahan rambut panjang tersebut. Lagipula kamu sendiri yang bilang, rambutmu panjang melebih pundak. Dan aku percaya.
Yah, Aisyah, aku percaya kata-katamu itu. Sebab, menurutku, menilik dari sorot mata itu yang sudah membuat hatiku kembang kempis, pastilah rambut itu seindah keindahan mata yang tak bisa ditandingi oleh batu mulia apapun.
Oh tidak, Aisyah. Buang jauh-jauh pikiran tersebut. Aku bukanlah seorang cabul. Demi Tuhan, aku belum pernah mengendap-endap ke toilet perempuan hanya demi melihat rambut panjang tersebut. Kamu tahu, kan, Aisyah? Dan aku yakin kamu pasti juga akan mengiyakan. Kamu pasti setuju bahwa terkadang cinta bisa mendorong seseorang melakukan segala sesuatu yang di luar akal sehat. Cinta selalu memberikan seseorang suatu energi kasat mata. Maka tak usah heran, jikalau kamu menemukan seseorang yang tega membunuh orang yang dicintai dengan teknik pembunuhan paling kejam – lebih kejam dari yang ada di Conan, manga favoritmu itu. Rasa cinta berlebih yang menjadi penyebabnya.
Oh tidak, Aisyah. Aku sama sekali tak segila itu. Aku masih bisa mengontrol perasaan cintaku padamu. Apalagi, bagiku, kamu makhluk yang terlalu indah untuk dilenyapkan. Kamu pula makhluk terindah yang tak bisa kulepas begitu saja. Aku tak mau dirimu dimiliki oleh orang lain selain diriku. Tidak akan pernah.
Jangan salah pula, Aisyah. Untuk mendapatkanmu, tidak mungkin aku akan mengharamkan diriku dengan segala perbuatan yang diharamkan rasullullah. Bukankah beliau – di salah satu ayat – pernah meminta umat-Nya untuk menjauhi perbuatan-perbuatan musyrik?
Yah, Aisyah. Kini aku berbeda dengan yang dulu kamu kenal. Aku bukan Samuel lagi. Nama baruku: Yusuf Ibrahim. Sudah satu setengah tahun ini, aku mendalami ajaran agamamu. Pun perlu kamu tahu, demi dirimu – yang memiliki bola mata seindah batu safir, aku rela dikucilkan dari keluarga besar. Aku kini sibuk menjagai anak-anak panti asuhan Nurul Iman.
Oh Aisyah, aku berharap kamu mau menerimaku sebagai calon suamimu di masa depan. Ku harap pula, dirimu mau bersabar untuk menungguiku datang menghadap kedua orangtuamu.
Semoga kamu mau menghargai jerih payahku untuk memiliki dirimu semata.
Yang selalu mencintaimu,