A Late Confession -- @aminocte

    Author: AOMAGZ Genre: »



    oleh: Aminocte



    “Kau tidak apa-apa, May?” Terdengar derap langkah kaki dari ruang tengah menuju teras belakang. Aku mengangguk. Kuseka jejak air mata yang mengalir di pipiku dengan cepat agar Can tidak mengetahuinya. Ia berjalan menghampiriku, wajahnya tampak begitu khawatir. Saat jarak di antara kami telah begitu dekat, ia menyerahkan sebotol air mineral kepadaku. Aku mendongak, menatap wajah Can yang juga terlihat lelah. Keringat membasahi dahinya, juga lehernya. Kurasa ia lebih membutuhkan air ini daripada diriku. 

    “Ambillah. Kau pasti haus,” ujarnya seraya menyodorkan botol itu lebih dekat kepadaku. Aku menggumamkan ucapan terima kasih, kemudian membuka botol itu dan membiarkan isinya membasahi kerongkonganku. Saat kusadari Can hanya memperhatikanku, kutelan air yang masih tersisa di dalam mulut dengan terburu-buru. Pemuda itu tertawa geli, mungkin wajahku terlihat berantakan saat ini dengan leleran air di sekitar mulut.







    “Kau sendiri, tidak minum, Can?” 

    Ia menggeleng. Kemudian terdiam. Tidak biasanya sahabatku ini enggan berbicara. Dia memang pendiam, tetapi tidak denganku dan Will. Tatapan matanya menerawang, tertuju pada langit senja yang bersemburat oranye. 

    Tadi siang, aku berkunjung ke rumah ini untuk membantu Can merapikan barang-barang peninggalan Will. Kamarnya sendiri tidak terlalu berantakan, tetapi barang-barang milik anak itu tersebar di mana-mana. Aku menemukan buku jurnal dan alat tulisnya di ruang baca, lalu kaset filmnya tergeletak begitu saja di dekat televisi. Belum lagi beberapa carik kertas yang tertinggal di atas meja makan. Ditambah dengan koleksi komik di kamarnya yang tak disusun sebagaimana mestinya. Sejak sibuk menemani Will di rumah sakit dua minggu terakhir, Can tak sempat lagi membereskan rumahnya. Aku pun paham dengan keadaan Can yang tak memungkinkan dirinya untuk melakukan semuanya sendirian. 

    Dugaanku salah bila yang harus kulakukan hanyalah mengembalikan barang-barang yang tercecer kembali ke tempatnya. Nyatanya, setiap memegang buku, kaset, atau pena milik Will, saat itulah memoriku berputar ke masa lalu, kembali ke saat kami masih bersama-sama sejak sekolah dasar. Dan mengingat Will yang sudah tidak ada lagi di dunia ini, rasanya dadaku menjadi sesak. 

    Aku mengerti, dari semua orang, Can lah yang paling merasakan kehilangan. Meskipun ia tidak menampakkannya secara nyata, aku tahu bahwa hatinya merasakan kepedihan karena ditinggalkan. Dulu, saat kami masih berusia sepuluh tahun, aku sering merangkul Can saat ia bersedih. Namun, kini, aku merasa canggung, mungkin karena kami telah dewasa, dan aku sebentar lagi akan ditunangkan dengan pria pilihan orangtuaku. Orangtuaku yang konservatif melarangku untuk berhubungan dekat dengan laki-laki untuk tidak merusak rencana mereka. Will dan Can, adalah pengecualian, kurasa. 

    “Can,” panggilku dengan hati-hati. 
    “Ya?” 

    Melihat Can dari dekat, jelas ia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Wajahnya kuyu dan kantung matanya berwarna gelap, juga sedikit bengkak. 

    “Kau baik-baik saja?” tanyaku yang kemudian kusesali karena, karena… bukankah aku sudah mengetahui jawabannya? 
    “Tidak terlalu baik. Tetapi, aku akan berusaha.” Can menoleh dan menatapku lurus-lurus, membuatku sepenuhnya yakin dengan kejujuran kata-katanya. 
    “Aku yakin kau mampu melakukannya. Kau adalah saudara yang baik dari dulu dan untuk selamanya. Will pasti bangga memilikimu, Can.” 

    “Semoga. Terima kasih banyak, May. Untuk dukungan dan bantuanmu selama ini. Aku senang kau mau berkunjung ke rumah ini dan membantu membereskan barang-barang Will.” Can hendak melingkarkan lengannya pada tubuhku, tetapi urung. “Ah, maaf. Maaf karena aku begitu lancang.” 

    Kugelengkan kepala. Entah mengapa Can hari ini terlihat begitu tegang. Atau aku yang terlambat menyadarinya. 

    “Tidak apa-apa. Jangan seperti itu, Can. Kita sahabat, bukan? Aku percaya denganmu, dan kau, sebagai gantinya, tidak perlu menarik diri seperti itu.” 

    Can menghembuskan napasnya dengan berat. 

    “Pria yang akan memilikimu kelak pasti sangat beruntung.” 
    “Tentu saja! Aku akan menjadi istri yang baik untuknya. Asal kau tahu, Can, aku sudah bukan May yang dulu, yang memasak telur saja tidak bisa.” 

    Can melirikku dari atas hingga bawah. Kemudian ia tertawa lepas. 

    “Kau memang lebih feminin sekarang, tetapi, aku tetap tidak yakin. Siapa yang bisa menjamin kau tidak tergoda untuk memanjat pohon ceri itu suatu saat nanti?” Ia berujar, setengah meledek. Telunjuknya tertuju pada sebatang pohon ceri berdaun lebat yang ada di hadapan kami. 

    Aku mengerucutkan bibir, kemudian memukul lengannya. “Can! Jangan meledekku terus! Harusnya kau mendukungku supaya bisa menjadi wanita yang baik dan bertanggung jawab untuk keluarganya.” 

    Sahabatku itu mengulum senyumnya. “Iya, aku tahu. Kapan kau akan bertunangan?” 
    “Minggu depan, tanggal 7. Ingat, kau harus datang. Kalau perlu, dengan pasanganmu.” 

    Senyum di wajah Can memudar seketika. Ia memalingkan wajahnya ke kiri, menjauhiku. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Mungkinkah ucapanku menyinggung perasaannya? 

    “Can… apa aku salah bicara?” 

    “Tidak apa-apa, May. Bukan salahmu. Aku hanya merasa terlalu sensitif akhir-akhir ini,” ujar Can sebelum mata kami kembali bertemu. “Maaf, untuk saat ini, aku belum bisa menjadi teman berbincang yang baik untukmu.” 

    Can sejak dulu memang memiliki perasaan yang halus, bertolak belakang dengan Will. Namun, ia juga cepat memaafkan. Dulu, aku dan Will sering mengabaikan isyarat yang diberikannya bila ucapan kami menyinggung perasaannya. Kami menganggapnya tidak asyik, Will bahkan pernah meledeknya dengan sebutan lelaki yang sedang mengalami sindrom pra-menstruasi. Bagaimanapun, sekarang, kami telah sama-sama dewasa, dan yang perlu kulakukan adalah memahami keadaan Can sepenuhnya, bukannya memaksanya untuk berubah. 

    Kugenggam tangannya, sekadar untuk membuktikan bahwa ia tidak sendirian. Masih ada aku di sini yang akan menopangnya, memberikannya kekuatan. Namun, Can segera menarik tangannya menjauh. 

    “Maaf, May, kita tidak bisa seperti dulu. Kau sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Aku tidak ingin melukai kepercayaan orangtuamu dan calon pendampingmu,” ucap Can pelan, tetapi tegas. Baru kusadari bahwa orangtuaku mungkin tidak akan menyukaiku berhubungan terlalu dekat dengan laki-laki lain, sekalipun itu dengan Can. Maka, dengan kesadaran itulah, aku menarik tanganku dan menaruhnya di atas lutut. 

    Ada rasa canggung yang menyeruak di antara kami. Aku tidak pernah tahu Can akan bersikap seperti ini. Ia tidak membenciku, bukan? Ia tidak menyalahkanku atas kepergian Will, bukan? 

    “Can, apa kau menyalahkanku? Apa kau menganggapku sebagai penyebab meninggalnya Will?” 

    Can menggelengkan kepalanya. “Aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Meskipun Will terpuruk, itu karena kesalahannya padamu, bukan karena keberadaanmu, May.” 

    Aku menghela napas lega. Beberapa detik kemudian, baru kusadari Can melakukan hal yang sama. Namun, kali ini terdengar begitu berat. 

    “Aku begini bukan karena membencimu, May. Aku ingin menjagamu dan menjaga diriku sendiri dari nafsu ingin memiliki. Aku takut tidak bisa menahan diri.” 

    Apa maksudnya itu? 

    “Can, kita hanya sahabat, ‘kan?” 

    Can mengangguk, tetapi kali ini ia tidak berani menatapku. Wajahnya menghadap lurus ke depan, bahunya naik turun dengan cepat, tangannya terkepal, terlihat gelisah. 

    “Jawab aku dengan jujur, Can. Kita sudah berjanji untuk tidak menyimpan rahasia, bukan?” 
    Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Lalu menggeleng. 

    “Can, kumohon. Aku tidak ingin menyesal lagi karena tidak mengetahui hal yang seharusnya kuketahui.” 
    Sahabatku itu menengadahkan kepalanya, matanya menatap langit yang semakin memerah. Alih-alih mengikutinya untuk melihat keindahan langit senja, aku memperhatikan wajahnya. Setitik air bergulir ke sudut mata kanannya sebelum akhirnya jatuh bebas, membasahi pipinya. 

    “May, aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu… kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Jauh  sebelum Will mengakui perasaannya, sebelum kalian berdua sempat menjalin hubungan.” 

    Suasana mendadak terasa begitu senyap setelah mengatakan kalimat itu. Yang kudengar setelah itu adalah pengakuan Can yang menggema, memantul pada otakku. Aku ingin protes, aku tidak terima karena Can selama ini menutupinya dariku, sementara tidak ada satupun yang kusembunyikan darinya. Aku tidak marah, hanya saja, ini semua tidak adil. 

    “Kenapa kau tidak mengakuinya sejak dulu, Can?” 
    Karena mungkin saja aku bisa berubah pikiran. Aku tidak tahu apakah aku menyukai Can, tetapi aku begitu nyaman saat berada di dekatnya. Mungkin akan lebih baik bertunangan dengannya dibandingkan dengan pria yang tidak kukenal. 

    Dan lagi-lagi, sahabatku ini hanya bisa menahan perasaan, membiarkan dirinya terluka untuk kesekian kalinya. 

    “Aku takut kau marah bila aku mengakuinya, May. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak,” ujarnya dengan suara serak. Sementara kini air matanya mengalir deras. Can buru-buru menyeka air matanya dengan lengan baju kaus panjangnya, kemudian memalingkan wajahnya kepadaku dan tertawa. “Maaf, aku sedikit cengeng akhir-akhir ini. Kau tidak suka aku yang seperti ini, ‘kan? Sejak dulu kau menyukai pria yang kuat dan romantis. Aku cukup sadar diri, kok, karena itulah aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut denganmu.” 
    “Kau salah Can. Kau salah, tetapi juga benar.” 

    “Apa maksudmu?” Can mengerutkan dahinya, bingung. 
    “Benar, aku menyukai pria yang kuat dan romantis. Namun, salah bila kau mengira aku tidak menyukai kau yang seperti itu. Aku menghargai dirimu seperti apa adanya. Kau tidak perlu menjaga image atau apalah. Selama kau mampu menjadi sahabat yang baik, itu sudah cukup bagiku.” 
    Can tidak menjawab apa-apa lagi. Wajahnya terlihat lebih rileks. 
    “Terima kasih, May,” ujarnya, sebelum bangkit dari duduk dan menepuk bagian belakang celananya yang berdebu. “Kuantar kau pulang, ya?” 

    Tanpa banyak berpikir, aku segera mengiyakan ajakannya. Aku tahu, Can akan menjagaku dengan baik, seperti seorang sahabat, seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya. 

    2 Responses so far.

    1. Karakter can agak mirip sama gue ya, hahaha.... Kagak ding, becandaan doang.

    2. @Bang Nuel: Ah, masa iya? :D
      Makasih sudah komen, Bang :)

    Leave a Reply

    Thanks for reading! Leave your responses here :)

    Tentang AOMAGZ

    AOMAGZ adalah sebuah online magazine. Tapi bukan majalah berita, majalah resep atau majalah fashion. AOMAGZ adalah majalah spesialis cerita : Cerpen, Cerbung, Flash Fiction, Serial, Dongeng, Cerita Anak dan lain-lain. Jelajahilah AOMAGZ sesuka hati kamu karena ada cerita baru setiap harinya (kecuali weekend). Enjoy!

    Readers



    Follow Us On Twitter Photobucket


    Guestbook