Suatu Sore di Pantai Padang -- @Aulhowler

    Author: AOMAGZ Genre: »




    Oleh: Aul Howler




    Sore itu sangat cerah. Udara panas sisa siang tadi, masih agak terasa, walaupun sudah tak kentara lagi. Langit begitu mempesona, memamerkan paduan birunya dengan kecantikan sinar mentari dan awan-awan yang berarak perlahan dengan anggun.

    “Tiit… tiiiiiiiit…”
    “Brumm… bruumm…”
    “Biim… biiiimm…”

    Menjelang sore, kawasan pantai padang atau yang dikenal dengan julukan Taplau ramai dikunjungi wisatawan, dalam maupun luar kota. Puluhan bahkan ratusan mobil, sepeda motor serta angkutan umum berduyun-duyun memenuhi jalan-jalan untuk mengantar jemput pengunjung yang ingin menikmati keindahan pantai. Sehingga, tak bisa dielakkan, bunyi-bunyian seperti klakson, musik-musik dari kendaraan full audio, teriakan, peluit-peluit petugas lalu lintas, ditambah deburan ombak serta suara-suara lainnya membuat sore di Pantai Padang begitu gaduh.




    Dokumentasi Aul and His Home




     Penduduk kota Padang yang bermukim di sepanjang pinggiran Taplau sebagian kecil merasa kurang nyaman akan hal ini. Aktivitas keseharian mereka di rumah biasanya agak terganggu dengan kebisingan yang terjadi. Namun, lebih banyak penduduk yang mengabaikannya. Menurut golongan ini, hal tersebut adalah konsekuensi atau resiko yang harus mereka tanggung karena bisa tinggal di tempat yang indah, nyaman dan strategis, karena berada di kawasan pusat kota. Malah, ada yang merasa sangat beruntung tinggal di kawasan Taplau ini. Mereka dapat memanfaatkan keramaian sebagai sumber pendapatan. Mereka bisa berdagang jajanan kecil, panganan khas Taplau, aneka cendera mata, menyewakan pondok-pondok kecil untuk beristirahat dan sebagainya. Yang justru agak aneh adalah para pedagang berkaki lima dan pamilik usaha kecil-kecilan yang berderet di sepanjang pantai ternyata banyak yang berasal dari daerah lain.

    Huufff…”

    Yan menghembuskan nafasnya panjang. Ia tengah duduk di kursi yang menghadap ke laut. Tangannya menopang dagunya. Matanya menatap lurus ke depan. Namun, pikirannya melayang entah kemana.

    Yan mengelap keringatnya dengan kaosnya yang lusuh. Jemarinya meraih buku TTS yang ada di atas meja dan mengipas-ngipaskannya ke wajahnya. Diteguknya es teh yang tadi dibelinya pada Ni Murni, pedagang minuman yang juga membuka warung kilat seperti dirinya. Sesaat, tubuhnya mulai terasa sejuk dan ia beranjak dari kursinya.

    Jam dinding kecil di tengah warung kilatnya menunjukkan pukul  sore. Artinya, sebentar lagi pantai akan sangat ramai dikunjungi pengunjung yang hendak menikmati matahari terbenam. Bergegas ia menyalakan kompor, menaruh wajan dan memanaskan minyak goreng. Satu-persatu udang-udang yang telah ditusuk satekan dicelupkannya ke adonan dan di tata dalam wajan penggorengan, kemudian diangkatnya setelah berubah warna menjadi merah keemasan dan disusun rapi di lemari kaca yang menghadap ke jalanan. Selanjutnya, ia memasukkan sala lauak, bola-bola kekungingan yang berbahan dasar tepung beserta potongan daging ikan, ke dalam penggorengan pula, kemudian meniriskan yang sudah matang dan menatanya di sebelah sate udang.

    Itulah salah satu rutinitas yang dilakukan Yan setiap hari. Pagi hari membantu Pak Ujang, pemilik beberapa kapal nelayan, melaut mengumpulkan ikan dan udang. Jika hasil tangkapan memuaskan, ia akan mendapatkan upah yang lumayan. Cukup untuk makan sekeluarga dua hari. Namun jika hasil tangkapan hanya sedikit, ia juga hanya akan mendapat upah sedikit. Hanya cukup untuk makan sekeluarga satu hari, dengan lauk ikan asin sisa tangkapan yang sengaja disimpan dan digunakan untuk saat-saat yang mendesak.

    Siang hari, ia membantu emaknya menusuk satekan udang dan membuat adonan gorengannya. Kadangkala, ia membantu membersihkan sirip ikan milik Pak Dadang, pedagang ikan tetangganya, seratus rupiah untuk satu ekor ikan. Sedangkan sore hari, ia mendirikan warung kilatnya dan menjual udang goreng serta sala lauak di pinggir pantai.

    Hufftt…”

    Yan kembali menghembuskan nafasnya panjang. Satu persatu pengunjung mulai berdatangan. Belum ada yang melirik dagangannya. Itu merupakan hal yang wajar, mengingat belasan pemilik warung kilat lainnya juga menjual gorengan sepertinya dagangannya, bahkan lebih bervariasi. Yan kembali duduk, meletakkan tangannya ke meja dan menopang dagunya, kembali ke alam lamunannya yang sempat terputus.

    Dulu, ia dan keluarganya hidup sejahtera. Ia bersama Nani dan Nini, adik-adiknya, hidup layaknya anak lain. Bersekolah, bermain dengan teman-teman serta bersenang-senang menikmati masa muda, tanpa harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.

    Namun, saat ia naik ke kelas tiga SMP, Ayahnya ditabrak oleh sepeda motor yang dikendarai pencopet. Berkat itu, pencopet tersebut berhasil ditangkap polisi. Sayangnya, Ayah Yan tak berhasil diselamatkan karena terlalu banyak mengeluarkan darah saat kecelakaan.

    Sejak saat itu, Emaknya yang harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai anak sulung, Yan membantu-bantu emaknya mencari uang. Namun, kemalangan kembali menyerang keluarganya. Emaknya diserempet ojek, hingga kaki kanannya lumpuh. Berbagai cara telah dilakukan untuk menyembuhkannya namun tak membuahkan hasil. Barang-barang berharga yang ada habis dijual untuk biaya pengobatan. Dan atas permintaan emaknya, usaha untuk menyembuhkan kakinya dihentikan, karena menurutnya, hanya menghabiskan uang. Semenjak itulah, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, ia membuka usaha warung kilat menjual gorengan. Yan ikut membantu emaknya menjajakan gorengan. Selain itu, ia juga bekerja serabutan. Apapun asalan halal dan menghasilkan uang dikerjakannya. Belakangan, ia memperoleh pekerjaan tetap, sebagai penangkap ikan untuk Pak Ujang.
    Sekelompok pelajar berseragam putih abu-abu mendatangi warung Yan, membeli udang gorengnya. Dengan cepat, Yan mengambilkan pesanan para pembelinya, dan setelah menerima beberapa lembar uang ribuan, pembeli pergi.

    Alhamdulillah, Yan membatin penuh syukur. Ya, paling tidak, ada yang membeli, batinnya. Dan ia kembali duduk, tapi kali ini menghadap jalanan. Bersiap melayani pembeli berikutnya. Sepertinya, penghasilannya hari ini akan lumayan daripada kemarin, yang hanya laku tujuh tusuk.

    Yan kembali duduk. Matanya masih menangkap sekelompok anak yang berseragam putih abu-abu melintasi jalanan. Ah, ia jadi iri. Seandainya Ayahnya masih hidup, tentu ia masih bersekolah sekarang, mengenakan seragam putih abu-abu pula. Namun, itu hanya sekedar harapan, ia tahu. Berhasil menamatkan SMP saja, Yan sudah cukup beruntung. Sayangnya, emaknya tak sanggup jika harus membiayainya masuk SMA. Uang yang didapatkannya setiap hari pas-pasan. Hanya cukup untuk makan dan kebutuhan lainnya. Apalagi, pendapatan yang diperoleh sekeluarga tidak tetap. Seringkali, Yan sekeluarga kekurangan. Seperti saat razia penertiban menggusur warung-warung kilat dan pedagang kaki lima, saat udang untuk bahan dagangan langka, saat di laut sedang ada badai, saat banjir menyerang dan sebagainya. Belum lagi harga barang-barang kebutuhan sehari-hari semakin lama semakin tinggi. Maka, jangankan untuk bisa sekolah, untuk bertahan hidup saja rasanya sulit. Karena itu, Hasrat Yan yang menggebu-gebu untuk melanjutkan sekolah ia pendam.

    “Ciiiiiiiiiittt….”
    “BRAAAKK!!”

    Tiba-tiba terdengar suara benturan dari arah jalan. Para pedagang dan pengunjung yang berada di sekitar jalan berhamburan melihat sumber suara.
    Hmmm… mungkin kecelakaan, pikir Yan. Dan ia segera meninggalkan warungnya menuju sumber keributan.

    Suasana jalanan makin ramai. Yan menerobos orang yang berdesak-desakan untuk melihat apa yang terjadi. Seorang gadis duduk menangis di aspal, betisnya berdarah dan sepeda motornya remuk di bagian depan, tergolek di jalan dengan pecahan bodi motor yang menghantam aspal. Salah satu pedagang mendorong sepeda motor setengah hancur itu ke pinggir. Dan karena tak ada yang membantu gadis pengendara itu berdiri, secara spontan Yan memapahnya berdiri dan mendudukkannya di kursi warungnya.

    “Biarkan dia tenang dulu! Mohon jangan dikerubungi, Pak, Buk, nanti dia semakin lemas.” ujar Yan kepada orang-orang yang melihat keadaan gadis itu. Dan orang-orang yang berdesakan satu persatu meninggalkan warung Yan. Dibantu Ni Murni, gadis yang sudah berhenti menangis itu diobati luka-lukanya.

    “Tenang saja, lukanya tidak parah kok. Hanya lecet sedikit saja.” Ni Murni menenangkan gadis itu. Yan memberikan segelas air putih, dan gadis itu meneguknya cepat.

    Setelah agak tenang, ia menceritakan tentang dirinya. Namanya Laila, ayahnya seorang bos di sebuah perusahaan katering dan sebuah kafe. Ia baru saja berulang tahun yang ke lima belas, dan mendapat hadiah sepesa motor dari ayahnya. Karena itulah, ia mengendarai sepeda motor barunya ke pinggir pantai karena ia pikir di pantai hanya ada sedikit orang. Namun, kenyataannya sebaliknya. Ia tidak tahu kalau Pantai Padang termasuk kawasan wisata yang ramai pengunjung, terutama di hari sabtu, seperti hari ini. Karena itu, ia sangat gugup saat memasuki kawasan Taplau, hingga sepeda motornya kehilangan kendali dan jatuh saat berbelok.

    Dan ia menelepon ayahnya. Meminta menjemputnya di salah satu warung kilat – milik Yan. Tak perlu waktu lama, sebuah mobil pribadi yang kelihatan begitu mewah berhenti di depan warung Yan. Pintunya terbuka, seorang pria bertubuh tinggi berjas hitam keluar, menghampiri warung Yan.

    “Masya Allah, Laila!” seru pria itu terkejut melihat kaki anaknya.
    “Ah, Ayah. Nggak parah kok!” Ujar Laila menenangkan ayahnya. “Sekarang sudah mendingan, diobatin sama Mas dan Mbak ini,”

    Pria itu mulai terlihat lebih tenang, “Kenapa bisa begini?” Ia bertanya. Dan Laila menceritakan semuanya. Bagaimana ia memasuki kawasan Taplau, bagaimana ia bisa terjatuh, dan ditolong Yan serta Ni Murni.

    Pria itu mengomel, “Kamu sih, kenapa bawa motornya ke sini? Di sini kan banyak orang!”
    Laila diam. Yan membela, “Dia.. tidak tahu, pak,” 

    Lalu ayah Laila bercakap-cakap dengan Yan. Ia bertanya macam-macam. Tentang keluarga Yan, tentang kehidupannya serta tentang pendidikannya yang terputus. Pria itu terlihat tertarik pada Yan.

    "Uhm… begini,” kata ayah Laila kemudian, “Saya mempunyai sebuah kafe di arah pusat kota sana. Kalau kamu mau, kamu dan Dek Murni ini boleh bekerja di sana,” ia menawari.

    Yan terkejut, “Terima kasih, Pak. Tapi tidak usah.”
    “Yan, terima saja lah. Supaya kamu bisa kembali sekolah.” Ni Murni menyarankan.

    Yan bingung. Bagaimana jika emaknya tidak mengizinkan. Namun, di sisi lain, Yan sangat ingin menerima tawaran itu. Ia bisa membantu emaknya mencari uang, ia bisa membantu mnghidupi keluarga, dan mungkin saja seperti kata Ni Murni, ia bisa kembali bersekolah.

    “Bagaimana? Kamu mau kan?” Ayah Laila kembali menawari.

    Yan mengangguk. Laila terlihat senang, begitu pula ayahnya dan Ni Murni. Dan setelah menyerahkan kartu namanya, pria itu menggendong laila ke dalam mobil. Sepeda motor yang separuh hancur milik Laila, di ikatkan di atas mobil, dan mobil itupun menjauh.

    Ni murni tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundak Yan. “Alhamdulillah, Yan. Tutup-lah warung kamu. Kabari Emak.” ujarnya, kemudian kembali ke warungnya sendiri.

    Yan segera menutup warungnya. Hatinya diliputi kebahagiaan, dan rasa syukur. Semoga, semuanya sesuai harapannya, ia membatin.

    Perlahan, senja mulai menggerogoti sore. Langit merah jambu, terkena sinar matahari yang telah tenggelam separuhnya. Cendawan kelabu yang terkena biasan cahaya terlihat cantik, membentuk siluet yang indah.

    Ya… Sore itu mulai berakhir. Namun bagi Yan, sore itu adalah awal semuanya. Awal dari perjuangan barunya. Awal dari cita-citanya. Awal dari harapan-harapannya. Dan semoga saja, menjadi awal bagi kebahagiaan menghampiri kehidupannya.



    Padang, 10 Juli 2009






    Catatan kaki:
    * Taplau merupakan singkatan dari tapi lauik, bahasa minang untuk tepi pantai. 
    ** Sala auak = sejenis ikan yang merupakan makanan khas Sumatera Barat.

    One Response so far.

    1. AOMAGZ says:

      Si Aul hebat juga yah. Masih SMA udah bisa bikin cerpen sebagus ini. Temanya sering dipake sih. Tapi tetap aja, cara penyampaiannya unik. Keep it up! Don't be lazy anymore. Hehehe.

      -Nuel Lubis-

    Leave a Reply

    Thanks for reading! Leave your responses here :)

    Tentang AOMAGZ

    AOMAGZ adalah sebuah online magazine. Tapi bukan majalah berita, majalah resep atau majalah fashion. AOMAGZ adalah majalah spesialis cerita : Cerpen, Cerbung, Flash Fiction, Serial, Dongeng, Cerita Anak dan lain-lain. Jelajahilah AOMAGZ sesuka hati kamu karena ada cerita baru setiap harinya (kecuali weekend). Enjoy!

    Readers



    Follow Us On Twitter Photobucket


    Guestbook