Oleh : Nuel Lubis
Pikiran Indri langsung membubung entah kemana. Salahkan segerombolan bocah itu. Segerombolan bocah yang tengah asyik mengendarai sepeda. Terlebih salahkan pula dua orang bocah yang menaiki sebuah sepeda keranjang yang sepertinya sudah begitu lapuk. Mungkin sepeda itu peninggalan buyut salah satu dari mereka.
Bukan… bukan karena sepeda itu, pikiran Indri jadi beterbangan ke suatu masa. Bukan. Memori itu kembali menguap karena sepasang bocah itu. Bocah perempuan dengan rambut panjang dikepang dua, yang mengendarai sepeda yang mungkin bersejarah. Lalu bocah lelaki yang nyaris tak berambut, yang duduk di jok khusus penumpang.
Gadis yang tengah sibuk menyelesaikan skripsinya itu teringat sekuen yang sama. Dulu, semasa dirinya masih berseragam putih-merah, ia ingat dirinya suka sekali bersepeda ria di sore hari, sama seperti sekarang ini. Selalu ada anak laki-laki itu – yang duduk di belakangnya seraya memeluk erat pinggangnya dengan erat sekali.
Anak laki-laki itu…
Anak laki-laki itu… tetangganya, teman satu sekolahnya, teman sekelasnya, temana semejanya, sahabat masa kecil terbaiknya. Kedekatannya dengan anak lelaki itu sering membuatnya jadi bahan ledekan teman-temannya yang lain. “Cie, cie,… mesranya, udah kayak pasangan suami istri nih..” Begitulah salah satu ledekan yang sering mampir di cuping telinga.
Aan. Begitulah panggilannya untuk anak lelaki yang penakut tersebut. Nama lengkapnya sih, Andi Ambo Upe Sofyansyah. Yah, anak lelaki itu berdarah bugis. Lahirnya pun di provinsi Sulawesi Selatan, di kota Pare-Pare, kota kelahiran Pak Habibie pula. Namanya yang nyentrik itu juga sering jadi bahan ledekan. Terutama nama tengahnya, ambo upe. Padahal ambo upe itu artinya bagus sekali.
Tak terasa sudah nyaris satu dekade. Seingatnya, keluarga Aan masih pontang panting mencari tahu keberadaan Aan. Aan hilang saat dirinya bersama teman-teman lainnya bermain petak umpet menjelang maghrib. Awalnya , ia kira – Aan langsung pulang seperti kebiasaan anak itu ketika bosan mencari. Tepat sekali, Aan itulah yang jadi ‘setan’-nya.
Aan gimana kabarnya yah? Pasti ia sudah diketemukan. Masa sih, selama sepuluh tahun-an ini, Aan masih terus menghilang?
Secepat kilat, tanpa pikir panjang, setelah urusannya kelar di rental komputer, gadis itu langsung memacu skuter menuju rumah.
*****
Setiba di kamar, ia segera melupakan tujuan awalnya: melanjutkan menyelesaikan bab tiga skripsi. Lagipula bab tiga itu sudah ia tandaskan selama semalam suntuk. Dirinya langsung mengobrak-abrik isi lemarinya. Diraihnya sebuah buku tulisan bergambar Sersan Keroro. Buku tulis itu penuh dengan informasi-informasi penting soal masa kanak-kanaknya. Bisa dibilang buku itu semacam kapsul waktu.
Ah, ada…
Namun dirinya ragu. Ragu apakah nomor ini masih bisa dihubungi atau tidak. Bisa jadi kan, keluarga Aan sudah pindah. Sejak lulus SD, keluarganya memutuskan pindah. Sejak saat itu pula, Indri sudah tak tahu menahu soal keluarga Aan. Benar-benar putus kontak antara keluarganya dengan keluarga Aan.
Tapi…
Tapi tak ada salahnya dicoba. Siapa tahu, karena masih mengharapkan Aan ditemukan, mereka belum beranjak dari tempat itu hingga sekarang ini. Langsung saja ia bangkit dan beringsut menuju meja kecil dimana ponselnya terletak. Ditekannyalah tuts demi tuts sesuai nomor yang tertulis. Dan ia mulai menunggu sampai terdengar bunyi seseorang.
Cukup lama. Seandainya saja tak ada suara tersebut, asanya mungkin sudah hancur lebam. Pupus sudah harapannya untuk bisa bernostalgia lebih lanjut bersama Aan yang tak jelas ujung rimbanya.
“Halo…” Ah, ia ingat. Itu kan suara ibu Aan. Ternyata suaranya masih sama seperti dulu. Suara itu belum berubah sedikit pun.
“Eee… halo…”
Mendadak Indri masuk dalam suatu keheningan. Ia harus bilang apa yah? Tak mungkin pula ia menyebut nama Aan. Tapi ia pun tak tahu nama ibu temannya tersebut. Tapi tunggu dulu, mungkin Sofyansyah itu... nama ayahnya. Sama seperti kebiasaan sebagian orang Indonesia, nama belakang pasti merupakan nama ayah dari yang bersangkutan.
“Halo… halo… halo…” Suara ibu Aan masih menyahut-nyahut.
“Ya-ya-ya, halo…” katanya gugup.
“Maaf ini siapa yah? Mau cari siapa?”
“I-i-ini… ini rumahnya Pak Sofyansyah kan?!”
“Iya, ini rumah Pak Sofyan. Ini dengan siapa yah?”
Dirinya tergugu lagi.
“Halo… Kok diam?”
“Halo, Tante – “ Spontan ia teringat satu nama. Tak hanya satu, tapi beberapa nama lainnya yang saling bertautan. “ – Ida, masih ingat nggak sama saya?”
“Maaf, tapi ini siapa?”
Oh iya, gadis itu menepuk jidatnya. Terang saja ibu Aan tak akan mengenalinya. Konon suara seseorang pasti akan jauh berbeda dari masa kecilnya dengan masa sekarang, dimana orang itu sudah berusia dua puluh satu tahun.
“Ini Indri, Tante. Indri Oktariani, yang dulu pernah tinggal di sebelah rumah Tante. Tante masih ingat kan.”
Begitu lama balasannya hingga, “Oh Indi,” Gara-gara Aan yang masih cadel – padahal sudah kelas lima, ia lebih sering dipanggil Indi. “iya, iya, Tante masih ingat. Kamu gimana kabar? Udah kuliah kan sekarang?”
“Baik, Tante. Iya, aku sekarang udah kuliah, lagi nyusun skripsi. Doain yah, Tante, biar bisa lulus tahun ini juga.”
“Amiiin… pasti Tante doain. Kan keluargamu sama keluarga Tante dulunya dekat banget. Ibu kamu juga dulu suka beli nasi uduk di tempat Tante, kan?”
Ia terkekeh. “Iya, Tan,”
“Oh iya, kamu kuliah di jurusan apa?”
“Akuntansi, Tante.”
“Wah hebat dong yah. Tar seabis lulus, kamu bisa jadi akuntan publik yang gajinya bisa perbaikin rumah Tante ini – yang udah berantakan banget.” seloroh Tante Ida sambil tergelak.
“Tante bisa aja,” Ia ikutan tergelak. “Omong-omong, aku mau nanya sesuatu, Tante. Sebelumnya aku minta maaf dulu kalau udah nyinggung.”
“Emang kamu mau nanya soal apa, Ndi?”
Embus, hirup, embus, hirup. Dengan hati-hati sekali, Indri menanyakan sesuatu yang mengganjal, “Gini, Tante. Aku mau nanya kabar soal… A-an. Aan gimana kabarnya? Sudah diketemukankah?”
Tak ada suara di seberang sana.
“Sekali lagi, aku minta maaf, Tante, kalau udah nyakitin hati Tante. Aku sama sekali nggak ada niat buat bikin Tante sedih atau apa.”
Terdengar bunyi sesenggukan. “Iya, Tante juga nggak apa-apa kok, Ndi.”
“Tante serius? Soalnya kedengarannya Tante itu kayak lagi nangis. Emang ada apa Tante sebetulnya?” tanyanya dengan dahi berkerut dan rahang menegang. Perasaannya mendadak jadi tak enak untuk mendengar kelanjutannya.
Benar saja. Setengah jam kemudian, ia menutup telepon dengan begitu terhenyak sekali. Kembali ke kamar dengan lesu dan air mata mulai mengalir cukup deras. Masih terngiang beberapaa kata yang diucapkan si Tante kepadanya.
“…Sepertinya ambo upe itu hanya sekadar nama, Ndi…”
Wah, pasti wajahnya jadi tak beraturan sekali. Ada air mata, ada perasaan ngeri, ada pula mata yang menerawang masa-masa sepuluh tahun yang lalu… tidak, tidak, tidak... bukan sepuluh tahun yang lalu juga. Ah memang si Indri ini agak lemah dalam berhitung. Saking tololnya, gadis ini tak tahu sudah berapa lama terlewati dari tahun 2002 hingga 2014.
Sudah setahun terlewati, keluarga Aan tak jera untuk mencari keberadaan si bungsu. Selebaran-selebaran pamflet tetap menempel di tembok-tembok. Iklan ‘dicari-orang-hilang’ masih menghiasi halaman beberapa surat kabar. Tante Ida selalu sigap mengangkat telepon. Yah bisa jadi itu dari orang yang menemukan, atau mungkin kabar dari penculik. Dan jikalau benar itu penculikan, Om Sofyan sudah mulai mempersiapkan uang dalam jumlah besar. Mungkin sepuluh juta cukup. Jumlah itu kan yang sering diminta penculik dalam beberapa film.
Walau hanya berstatus tetangga, Indri begitu memiliki empati yang amat sangat. Perasaan itu jauh melampaui rasa seorang sahabat kepada sahabatnya yang tengah dalam masa kesukaran. Sesungguhnya, jujur saja, gadis itu begitu naksir pada Aan. Baginya, Aan itu lucu dan amat begitu perhatian. Aan selalu ada – nyaris selalu ada – di kala Indri butuhkan. Tak pernah bosan-bosan mengajari gadis itu pelajaran Matematika yang paling dibenci.
Begitu pula dengan Aan. Seingat gadis itu, bocah itu pernah terus terang mengatakan bahwa Indri merupakan sahabat terbaiknya yang selalu menjagainya waktu para berandalan kecil merundung. Indri itu bagaikan seorang kakak ketiga yang hobi membawa bocah itu bersepeda sore. Indri tak pernah mengeluh untuk terus memboncengi Aan, yang hingga kelas lima SD pun masih belum bisa naik sepeda.
Indri, Aan. Mungkinkah keduanya tercipta untuk menjadi sepasang kekasih? Wallahualam, hanya Allah yang maha tahu. Yang jelas, saat dimana sosok Aan yang mendadak tak jelas rimbanya itu sempat membuat pikiran gadis itu terganggu selama menyongsong ujian nasional tingkat sekolah dasar. Untung saja, dirinya masih bisa lulus SD dan keluarganya memutuskan pindah keluar kota (Biasalah, urusan dinas). Hingga perlahan tapi pasti, waktu mulai mengikis segala memori tentang Aan. Dan karena waktu pulalah, ingatan itu pulih, yang disertai fakta yang memedihkan sekaligus menggidikan diri seorang Indri Oktariani.
Gadis itu berusaha mengingat kembali percakapan tadi.
“Ndi, kamu tahu nggak soal arti nama ambo upe itu?”
“Nggak, Tan. Emang artinya apa, Tante?”
“Ambo upe itu dari bahasa Bugis, Ndi. Dan ayahnya Aan itu berharap hidup Aan itu selalu dilingkupi keberuntungan. Sayang, arti nama itu sepertinya tak berlaku. Apanya yang beruntung, kalau Aan malah diculik kolong wewe selama hampir kurang lebih empat tahun. Mana keberuntungannya kalau Aan ditemukan sudah tak bernyawa di atas pohon sukun yang ada dekat kuburan itu?”
“Hah? Serius, Tante?” ujar Indri tergugu, pula mengernyitkan dahi. Seketika itu juga bulu kuduknya berdiri.
“Iya, Ndi. Tante nggak bohong. Tante juga kaget waktu dikasih tahu warga, mereka sudah menemukan keberadaan Aan yang ditemukan tak bernyawa di atas pohon sukun itu. Dan menurut orang pintar sih, kalau sudah pasti kolong wewe-lah yang selama ini menculik Aan.”
Indri bergidik. Pula gadis itu juga masih mempertanyakan kebenaran informasi tersebut. Mungkinkah?
Ini riset nya dimana dan beraqpa lama bang?
Detail banget...
*terperangah*
Idenya terlintas gitu aja. Risetnya sih nggak gitu terlalu. Plus bikinnya ini harus 3-4 jam depan laptop. Seriusan.