Oleh : Aminocte
Malin resah. Usianya kini menginjak 24 tahun, tetapi yang bisa ia lakukan hanya bekerja serabutan. Pagi-pagi, ia membantu Tek Ida di kedainya, mencuci piring bekas lontong sayur dan bubur kampiun. Sore hari mengajar anak-anak mengaji di surau. Malam hari ia menunggui kedai sederhana milik ibunya, melayani orang-orang yang memesan kopi hitam karena hendak berjaga malam.
Uang yang didapat tidak seberapa. Namun, ibunya tak pernah marah atau pun mengeluh.
“Yang penting uang itu dari usaha yang halal, Malin.”
Malin memalingkan muka. Sudah ratusan kali ia mengeluh tentang nasib keluarga yang tak kunjung membaik, sambil melancarkan proposal untuk merantau. Sudah ratusan kali pula ibunya menyuruhnya untuk bersabar dan membujuknya untuk tidak pergi.
“Malin laki-laki, Mak. Bukan lelaki namanya kalau tidak merantau.”
“Kalau kau pergi,siapa yang menemani Amak di sini? Cuma kau satu-satunya teman Amak di rumah.”
“Si Hasan, Mak, sudah sukses dia di Bandung. Punya usaha baju, omsetnya puluhan juta per bulan. Kawan ngaji Malin dulu, si Amir malah sudah jadi manajer hotel di Jakarta.”
Amak diam saja. Perempuan tua itu meraih gelas tehnya yang kosong, kemudian mengisinya dengan air dari ceret.
“Malin mau mencoba peruntungan di Jawa, Mak.”
“Kehidupan di Jawa itu keras, Malin. Amak tidak mau kau terjebak pergaulan yang tidak baik di sana.”
Malin meneguk ludah. Kali ini bujukannya harus berhasil. Harus. Ia ingin menghirup udara kota besar, melihat orang-orang berjas yang berjalan cepat, hendak ke kantor masing-masing. Lalu, sorenya, singgah sebentar di kedai kopi … apa namanya gerangan? Star..star.. ah ya, Starbucks! Malin pernah melihatnya sekali dua kali di televisi. Bukan televisi rumahnya, tentu saja, melainkan televisi Tek Ida yang berwarna hitam mengkilap serta berlayar datar. Kedai kopi yang sangat modern, harga kopinya bisa mencapai dua puluh ribu ke atas. Dan yang lebih penting lagi, tak ada pengunjung yang berani mengutang. Tidak seperti kedai kopi milik amaknya yang hanya sanggup menjual kopi dengan harga dua ribu rupiah. Lebih dari itu, tak akan ada yang mau membeli. Belum lagi kelakuan Mak Itam yang gemar sekali mengutang. Seingatnya, utang pria bertubuh tambun itu telah mencapai lima puluh ribu rupiah. Entah kapan akan dibayarnya, hanya Allah dan Mak Itam yang tahu.
“Malin janji akan mencari pekerjaan yang halal di sana, Mak.”
Amak mendeham, membersihkan tenggorokannya dari dahak. Diteguknya air hangat sekali lagi.
“Beri Malin waktu sebulan. Seandainya tidak berhasil, Malin akan kembali ke kampung. Tapi, bila nasib Malin baik, Malin mohon izin Amak untuk menetap di sana.”
Sadar bahwa pernyataannya belum ditanggapi sama sekali oleh ibunya, Malin memutar otak. Kalimat pamungkas apa yang akan ia lontarkan selanjutnya?
“Malin akan berusaha mengirim kabar, Mak.”
“Baiklah.”
Pemuda itu hampir saja terlonjak dari kursi yang didudukinya, saking senangnya. Ia bergegas menghampiri ibunya, mencium tangan keriput lagi kasar yang telah membesarkannya hingga kini.
“Terima kasih banyak, Mak.”
*****
Siang ini, matahari bersinar terik. Hawa yang berada di sekelilingnya begitu panas, ditambah dengan asap knalpot kendaraan yang membumbung ke udara. Kampung halamannya tak pernah terasa sepanas ini. Selalu ada pohon berdaun lebat yang bisa dijadikan tempat berteduh.
Peluh mengalir dari dahinya, turun ke pelipis. Ia bisa merasakan punggungnya basah, seolah disiram air. Ingin sekali Malin melepaskan kemejanya ini, meninggalkan kaos tipis yang melekat di badannya. Namun, ia hendak melamar pekerjaan, penampilan seperti itu tak akan diterima oleh perusahaan manapun.
Malin menatap kemeja putih yang dikenakannya. Bersih dan tersetrika rapi. Tak kalah dengan pakaian para karyawan kantoran yang berada di lajur yang sama dengannya. Pemuda itu mengulum senyum.
Hari ini, ia akan mendapatkan pekerjaan, demikian tekadnya.
*****
Malin duduk di sudut kiri teras masjid. Sepasang sandal karet telah berada di depannya, menanti untuk digunakan. Alih-alih berkemeja rapi, bercelana hitam perlente, apalagi bersepatu pantofel mengkilat, Malin hanya mengenakan baju kaus oblong dan celana kanvas kusam.
Cuaca tak menentu. Sekali panas, sekali hujan. Begitu pasukan air itu tercurah dari langit, ia seakan enggan untuk berhenti. Sungai meluap. Jakarta, kota beton yang menjadi pusat kemajuan pembangunan di Indonesia itu pun tergenang banjir. Beruntunglah Malin, daerah yang ditempatinya kini masih cukup aman dari genangan air. Meskipun demikian, awan mendung yang berarak di langit membuatnya resah.
Pemuda itu menghela napas. Korannya memang tidak banyak tersisa, sebentar lagi juga akan habis terjual. Namun, kalau terus menggantungkan nasibnya dari menjual koran, ia tak yakin bisa bertahan di sini.
Benarlah kata Amak, hidup di Jakarta memang sulit bukan main, apalagi untuk orang lugu sepertinya. Datang dari kampung tanpa keahlian khusus, tentu saja akan ditolak mentah-mentah oleh perusahaan manapun. Hendak mengharap upah dua juta empat ratus ribu rupiah setiap bulannya, standar upah minimum regional Provinsi Jakarta? Bagai pungguk merindukan bulan.
Seorang pria berpakaian necis keluar dari masjid. Langkahnya agak terburu-buru, kakinya berdecit, beradu dengan lantai keramik. Kemudian, ia duduk di sebelah Malin untuk mengenakan kaus kaki dan sepatu.
“Koran, Pak?” tanya Malin, mencoba peruntungannya pada orang itu..
“Iya. Kompas satu.”
Malin melirik ke kiri. Orang yang tadi membeli korannya malah sibuk dengan ponsel layar sentuhnya. Persis seperti yang terpampang di baliho besar di salah satu ruas jalan yang sering dilaluinya. Ah entah kapan ia bisa berpenampilan seperti orang itu. Pemuda itu buru-buru mengalihkan pandangannya ke tempat lain, takut mengkhayal terlalu jauh.
“Nama kamu siapa?”
“Malin, Pak.”
“Saya Hendra.” Pria itu membalas seraya mengulurkan tangan kanannya. Malin membalas dengan ragu. Tangannya penuh dengan debu, sama sekali jauh dari kategori bersih. Dari sudut manapun, sungguh tak pantas untuk menjabat tangan orang yang tadi mengajaknya bicara.
“Mau kerja di tempat saya?”
Mata pemuda itu sontak berbinar. “Kerja di mana, Pak? Sebagai apa?”
“Sebagai guru mengaji untuk murid-murid di sekolah kami. Bagaimana? Malin bersedia?”
Malin terdiam. Jauh-jauh ia ke Jakarta hanya untuk menjadi guru mengaji? Kalau begitu, musnah sudah impiannya untuk menjadi pegawai. Aih, berapalah gaji seorang guru mengaji? Di kampungnya, profesi seperti itu hanya dibayar seratus ribu per bulan, itu pun lebih sering dialihkan ke bentuk lain seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan. Orangtua anak-anak itu tak sanggup membayar uang pendidikan setiap bulannya, itulah alasannya.
Dan kalau akan menjadi guru mengaji lagi, mengapa tidak sekalian saja ia kembali ke kampung?
“Tenang saja, biaya hidup kamu Insya Allah akan tercukupi oleh gaji yang kami berikan. Dua koma empat juta, belum termasuk tunjangan kesehatan dan tunjangan lainnya. Bagaimana?” Pria itu menjelaskan, seolah mampu menjawab keraguan yang menggelayuti benak Malin.
Malin mengangguk mantap. “Mau, Pak. Kapan saya bisa mulai?”
“Lebih cepat, lebih baik. Kalau bisa besok, kenapa tidak?” Pria itu tersenyum lebar. “Saya tunggu di depan masjid ini jam delapan, ya? Tempatnya agak jauh, biar saya antar. Jangan lupa, pakaiannya yang rapi.”
“Ah, tidak usah, Pak. Saya yang mau bekerja, harusnya saya yang ke sana sendiri. Bapak tidak perlu repot-repot.”
“Saya tidak pernah menyuruh calon guru datang sendiri di hari pertamanya bekerja. Itu semacam kebijakan di tempat kami. Kami sangat menghargai guru-guru yang mau mendidik para muridnya dengan penuh dedikasi.”
“Tapi, kenapa saya, Pak? Saya hanya loper koran. Bukan lulusan IAIN, apalagi ustadz.”
“Saya terkesan dengan bacaan Al-Qur’an kamu. Fasih dan indah sekali. Saya pikir kamu bisa mengajar anak-anak agar bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar nantinya.”
Malin tidak mampu menahan senyum lega. Akhirnya, ia mendapat pekerjaan tetap, jadi guru mengaji di sekolah swasta. Mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain, Insya Allah dapat pahala, demikian kata Ustadz Nawawi, guru mengajinya dulu.
Dan tak tanggung-tanggung, gajinya dua juta koma sekian. Bisa dikirimkan ke rumah untuk Amak.
Pikiran Malin melayang ke kamar kosnya. Ada kemeja putih yang tersimpan di dalam koper, tak pernah dikenakannya lagi setelah tiga hari mencari pekerjaan. Sudah dicuci bersih dan disetrika rapi. Mungkin wanginya masih bertahan hingga kini, seperti kata orang di iklan pewangi pakaian itu.
Kemeja pemberian Amak itu akan dipakainya lagi besok pagi.