Oleh : Nuel Lubis
Mengamati halaman akun media
sosialnya, Akira tertegun. Pikirannya tertuju pada kata-kata penutup seorang host sebuah acara di salah satu stasiun
televisi Indonesia. Ia ingat persis, “Manusia itu pada dasarnya hanya memiliki
lima sahabat, lima belas teman dekat, dan lima puluh teman saja,” yah seperti
itulah kata-kata host fenomenal
tersebut.
“Kok bengong?” tegur abangnya,
Takeshi menepuk pundaknya. Abangnya iseng menatap halaman beranda akunnya itu.
Akira, Takeshi. Jangan dikira mereka punya darah Jepang dalam tubuh mereka.
Tidak sama sekali. Mereka Indonesia tulen. Saking tulennya, ayah mereka sama
seperti kebanyakan Indonesia lainnya, hobi memberikan nama anaknya
kebarat-baratan, kearab-araban, atau kalau kasus ayahnya itu, kejepang-jepangan.
Hanya saja bedanya, ayahnya punya alasan memberikan nama berbau Jepang pada
mereka berdua.
Akira, Takeshi. Mereka berdua itu
kembar, tapi tak identik. Kasus yang amat jarang terjadi, sebab kebanyakan
kembar pasti identik. Dua orang kembar ini lahir di Tokyo. Nama mereka diambil
dari nama depan dokter dan perawat yang mengurus persalinan mereka: Takeshi
Fujiyama dan Akira Shinoda. Begitulah asal-usul nama mereka.
“Enggak ada apa-apa,” Akira
tersenyum tipis. “Hanya
saja, heran kenapa sampai sekarang wall-nya
sepi dari ucapan selamat ulang tahun.”
“Lagian sih tanggal ulang tahunnya
di-hidden,” Takeshi nyengir.
“Yah kalau enggak dibegituin, rawan
di-hack.” Sejak bikin akun kali
pertama, tanggal lahirnya selalu ia rahasiakan dengan alasan takut diretas.
Siapa coba yang tahu kita ulang tahunnya kapan, selain orangtua dan keluarga
kita sendiri?
“Sok tenar lu!” seru Takeshi yang
segera meninggalkan pergi adik kembarnya itu, dikarenakan ia lahir lima belas
menit lebih awal.
Kini tinggal Akira saja yang berada
di kamar. Sendirian, hanya ditemani komputer jinjing. Ia terus saja terpaku
pada halaman akunnya itu. Hampir semua akun yang dimilikinya sepi dari
komentar-komentar berbau “happy birthday”.
Berbeda mampus dengan Takeshi, kembarannya, yang kerepotan membalas satu
persatu. Lagipula itu memang resikonya jadi orang supel yang punya banyak
teman.
Tak usah heran, mengapa nasib
sepasang kembar ini berbeda. Dibandingkan kembarannya, Akira itu pendiam
sekaligus pemalu. Dia itu introvert,
berbeda dengan Takeshi yang extrovert.
Bukankah seorang extrovert punya
lebih banyak teman daripada yang introvert?
Masih menatap tampilan akunnya itu,
terbersit untuk membuat status kode. Itu lho,
status dengan gaya bahasa mengundang kerutan buat pembacanya. Ada pesan
tersembunyi dalam kalimat statusnya itu. Dan mulailah ia mengetik, beginilah
bunyinya:
“Thank’s
God, you have been giving me one additional year. Perhaps, in my new age, I’m
going to go mature. Better than before.”
Selesai ia mengetik seperti itu, ia
tinggal sebentar ke toilet. Beberapa menit kemudian, ia kembali, dan ternyata
hanya tiga orang yang sadar. Itu pun tak membalas ke akunnya, malah ke
ponselnya. Akira agak kecewa. Ia ingin sekali seperti kakak kembarnya itu.
Dengan cepat, ia langsung menyibak
tanggal lahirnya itu. Sekarang tiap orang tahu ia berulang tahun hari ini.
Semenit kemudian, aliran ucapan mulai mengalir deras. Ia tampak bahagia. Itu
awalnya.
Menjelang petang, ia mulai jengah.
Letih juga membalas satu persatu ucapan yang tertera di halaman profil akunnya
itu. Segala mention dan wall yang ada, setelah ia baca-baca, terkesan basa-basi
dan formalitas. Bukankah terasa kurang sreg, jika tahu ulang tahunnya, namun
malah apatis?
Setidaknya begitulah anggapan
seorang Akira. Dari bahasanya saja, ia bisa tahu mereka semua
– yang mengirim ucapan – hanya basa-basi. Kata-katanya tak lepas dari: “happy birthday”, “selamat ulang tahun”,
“wish you all the best”, dan
kalimat-kalimat klise lainnya yang biasanya ditulis seseorang pada ‘teman’nya yang
berulang tahun.
“Kenapa lagi, lu, Ra?” tanya Takeshi
melihat adiknya itu yang dari tadi berdecak kesal, dari arah tempat tidur.
Takeshi begitu menikmati komik yang dibacanya.
“Gue senang sih, dapat ucapan segini
banyaknya. Tapi setelah gue simak baik-baik, terkesan basa-basi aja.” protes
Akira.
Takeshi nyengir. Beranjak ia bangkit
dan beringsut pada Akira.
“Kayaknya lu perlu tahu satu hal,”
ujar Takeshi. “Sebetulnya enggak ada gunanya punya banyak teman di dunia maya.
Toh kita hidup di dunia nyata, cuy. Menurut gue juga, kebiasaan lu yang suka
sembarang add itu juga useless. Rawan kejahatan pula.”
“Yah tapi kan, punya jaringan yang
luas, banyak manfaatnya juga, Ka.” dalih Akira.
“Itu kalau lu pedagang atau
penulis.” bantah Takeshi sengit. Kini mereka sudah berada dalam jarak
serentangan tangan saja. “Punya barang dagangan atau buku saja lu juga enggak.
Lagian memang lu kenal siapa saja yang ada di-friendlist?”
“Sebagian sih,” kata Akira.
“Terus gue tanya lagi sama lu,”
Takeshi menatap lekat Akira yang masih duduk, sementara ia berdiri. “Lu kan
suka curhat tuh di social media, nah
apa mereka pernah kasih solusi?”
Akira menggeleng. “Tapi ada yang
bilang, menulis itu semacam terapi buat jiwa kita, mengembalikan kita ke ke
dalam kewarasan kita lagi.”
“Itu memang benar, tapi enggak harus
di sana juga,” Takeshi menunjuki komputer jinjing Akira. “Banyak medianya,
salah satunya buku harian. Dan enggak hanya menulis, meditasi atau berdoa juga
bisa jadi terapi jiwa.”
Akira tercenung mendengar kata-kata Takeshi barusan.
"Apalagi juga banyak orang jahat di dunia maya. Berkedok teman, tahunya musuh. Stalker bertebaran dimana-mana. Saran gue sih, mending fokus aja deh dengan bikin hubungan pertemanan di dunia nyata. Sekali-kali, ajakin aja teman-teman dunia maya lu itu kopdar.” Satu alis Takeshi naik.
Akira tak menjawab, hanya cengengesan tak jelas. Dan… plaaak…. kini ia melenguh kesakitan. Kepalanya dipukul.
"Lagian buat apa sih banyak teman di dunia maya, nyatanya di dunia nyata kita merasa kesepian. Kenyataannya juga, yang akrab dengan kita itu hanya sejumput.” kata Takeshi seraya menunjukan jari telunjuk dan jempolnya. “Gue yakin juga… andai kata nih, lu dipenjara atau masuk rumah sakit, yang benar-benar jenguk lu juga hanya beberapa. Enggak sampai-lah…” Kepalanya menjulur ke arah komputer jinjing Akira sekedar untuk memeriksa berapa ‘teman’nya. “…1900 orang itu. Enggak akan pernah sejarahnya lu dibesuk sebanyak itu.”
Saat Akira sibuk mengelus-elus janggutnya yang mulai tumbuh – namun tak lebat, Takeshi keluar kamar. Ketika itulah, Akira sadar – semakin menyadarinya. Ternyata… caranya menggunakan media sosial di dunia maya itu salah total. Ia selalu takut akunnya diretas, nyatanya ia sendiri malah mengundang peretas itu sendiri karena caranya yang suka main add atau follow sendiri. Padahal itu salahnya sendiri yang sudah bermain api.
Akira tercenung mendengar kata-kata Takeshi barusan.
"Apalagi juga banyak orang jahat di dunia maya. Berkedok teman, tahunya musuh. Stalker bertebaran dimana-mana. Saran gue sih, mending fokus aja deh dengan bikin hubungan pertemanan di dunia nyata. Sekali-kali, ajakin aja teman-teman dunia maya lu itu kopdar.” Satu alis Takeshi naik.
Akira tak menjawab, hanya cengengesan tak jelas. Dan… plaaak…. kini ia melenguh kesakitan. Kepalanya dipukul.
"Lagian buat apa sih banyak teman di dunia maya, nyatanya di dunia nyata kita merasa kesepian. Kenyataannya juga, yang akrab dengan kita itu hanya sejumput.” kata Takeshi seraya menunjukan jari telunjuk dan jempolnya. “Gue yakin juga… andai kata nih, lu dipenjara atau masuk rumah sakit, yang benar-benar jenguk lu juga hanya beberapa. Enggak sampai-lah…” Kepalanya menjulur ke arah komputer jinjing Akira sekedar untuk memeriksa berapa ‘teman’nya. “…1900 orang itu. Enggak akan pernah sejarahnya lu dibesuk sebanyak itu.”
Saat Akira sibuk mengelus-elus janggutnya yang mulai tumbuh – namun tak lebat, Takeshi keluar kamar. Ketika itulah, Akira sadar – semakin menyadarinya. Ternyata… caranya menggunakan media sosial di dunia maya itu salah total. Ia selalu takut akunnya diretas, nyatanya ia sendiri malah mengundang peretas itu sendiri karena caranya yang suka main add atau follow sendiri. Padahal itu salahnya sendiri yang sudah bermain api.
Semakin ia meresapi kata-kata
Takeshi tadi, semakin juga ia cepat berpikir untuk mengakhiri semuanya.
Tangkasnya ia tutup semua akun media sosial yang ia miliki, lalu bikin yang
baru. Kali ia hanya ‘berteman’ dengan yang benar-benar kenal saja: teman
sekolah, teman kuliah, dan teman komplek. Ia add kembali dengan dalih akun lama telah diretas, nyatanya tidak.
Selain itu, ia juga berjanji untuk tidak sembarang
curhat di sana. Ada baiknya buku hariannya kembali difungsikan. Dulu ia begitu
rajin menulis, lalu terhenti karena mengenal blog dari teman kuliahnya yang seorang blogger. Hanya ikut-ikutan, ia ngeblog.
Itulah sebabnya, ‘teman’nya ribuan. Lambat laun, kebiasaannya menulis buku
harian ganti jadi menulis di blog atau
status sebuah media sosial. Padahal sebetulnya itu tak bermanfaat dan rentan
disalahgunakan.
Beruntung
Akira. Ia menyadari keteledorannya, sebelum terkena musibah. Banyak orang yang
baru menyadari keteledorannya berjejaring sosial setelah musibahnya datang
dulu. Sering ia mendengar, kasus seorang anak perempuan dibawa kabur seseorang
‘teman’, lalu diperkosa. Bersyukur ia menonton acara talkshow tempo hari, bersyukur pula ia punya kakak macam Takeshi.
Takeshi benar. Host
itu juga benar. “Manusia itu pada dasarnya hanya memiliki lima sahabat, lima
belas teman dekat, dan lima puluh teman saja.” Hari ini, Akira Kurniawan baru
saja mendapatkan arti sebuah persahabatan. Teman itu bukan sekedar tombol add atau confirm atau juga follow.
Karena… sahabat itu lebih dari sekedar formalitas atau basa-basi belaka.