Oleh : Alivia Awin
Bu, hampir seluruh umurku kupenuhi titahmu. Sekalipun tak pernah kubantah. Kali ini aku lelah, Bu. Lelah menghadapi egomu dan menuruti titahmu. Kali ini izinkan aku, Bu. Izinkan aku menuruti egoku sendiri. Aku ingin melangkah sekehendak hatiku.
Bu,
belum genap usiaku empat tahun, berbagai jenis seragam sudah kau pakaikan
kepadaku. Waktu itu aku menurut saja, Bu. Karena yang aku tahu, anak pintar
sepertiku tidak boleh bermain hujan, bermain lumpur, ataupun bermain pasir
seperti anak tetangga.
Bu,
usia lima tahun aku sudah kau kenakan seragam merah putih. Padahal
teman-temanku masih bermain dengan lilin dan kerayon. Katamu, itu semua wajar
saja. Aku anak cerdas.
Bu,
hanya dua tahun aku kenakan seragam putih biru. Aku mulai bingung, Bu. Katamu,
tak baik menunda-nunda sesuatu. Bu, apakah sekolah tiga tahun termasuk menunda
sesuatu?
Bu,
dua tahun juga aku kenakan seragam putih abu-abu. Alasanmu masih tetap sama.
Aku tak mengerti, Bu. Lebih tak mengerti lagi ketika kau melarangku bermain
musik. Katamu, anak cerdas sepertiku tidak bermain musik. Anak cerdas sepertiku
hanya membaca dan belajar. Namun, apa kau tahu, Bu? Aku tetap bermain musik
sepulang sekolah bersama teman-temanku. Kau tak tahu, tentu saja.
Bu,
teman-teman kuliahku dua tahun lebih tua dariku. Katamu, itu wajar saja. Anak
cerdas sepertiku sudah semestinya bergaul dengan orang yang lebih tua. Apa
artinya aku harus sepertimu, Bu? Kau yang setiap malam diantar pulang dalam
keadaan setengah sadar sembari oleh lelaki berkumis dan berdasi yang wajahnya
selalu berganti tiap hari. Haruskah aku seperti itu, Bu?
Bu, aku tak ingin lagi menuruti titahmuu. Aku ingin mengikuti hatiku.
Aku tak ingin berbohong lagi, Bu. Aku ingin menikah dengan sesama lelaki.
-End-
Seriusan, gue tercenung baca cerpen ini. Penulisnya perempuan, tapi bisa bikin cerita dari sudut pandang cowok (setengah matang). Hebat eksekusinya
Iyaa si awin emang ganas tuh wkwk