Oleh : Nuel Lubis
Sore yang indah. Tak deras, tak terik. Semilir menggelitik kuping. Begitu hari yang tepat untuk membawa hewan peliharaan jalan-jalan. Tak ayal taman komplek begitu ramai sekali dengan orang-orang dan hewan peliharaannya. Termasuk diriku.
Seperti biasa, tiap sabtu aku libur. Kebanyakan pekerja di Indonesia memang mendapatkan hari libur di hari sabtu; apalagi kantor tempatku bekerja merupakan perusahaan multinasional. Kebiasaanku di sabtu pagi adalah membawa Smith, anjing jenis American Coccer Spanielle berjalan-jalan pagi.
“Wah anjingnya lucu,” sahut seorang pengunjung taman padaku. Seorang perempuan usia remaja. Dari sorotnya, kita bisa tahu ia begitu gemas sekali dengan Smith. “Anjingnya jenis American Coccer Spanielle yah?”
Aku berjengit.
“Ini anjingnya anjing Amerika, kan?”
Anggukan lagi.
“Wah berarti memberikan instruksinya harus pakai bahasa Inggris, dong?!” kata remaja perempuan itu sembari mengelus-elus Smith.
Kututup mulut dengan telapak untuk berusaha tak menyinggungnya.
“Enggak juga, lagipula Smith juga sudah lama tinggal di Indonesia. Smith ini sendiri juga orangtuanya juga sudah lama di Indonesia. Orangtuanya itu peliharaan ayah saya dulu dan orangtuanya sudah lama mati. Jadi, walau anjing Amerika, hati Smith tetap hati Indonesia.”
“Oh begitu,” ucapnya mendongak padaku, dikarenakan ia masih sibuk mengelus-elus Smith.
“Oh iya, anda orang Jepang?”
Sudah kutebak, ia pasti akan menanyakan pertanyaan itu. Ia pasti menduga seperti itu karena cara berbicara dan parasku.
“Maaf, kalau rasis. Soalnya wajah anda sangat Jepang, begitu pun wajah anda.” Perempuan itu meminta maaf seraya membungkukan sedikit tubuhnya.
“Tak apa, saya sudah biasa. Sudah banyak kerabat yang bilang seperti itu.” jawabku tersenyum. “Dan saya ini sebetulnya warga negara Indonesia. Ayah orang Jawa, ibu orang Bali.”
Lagi-lagi ia membulatkan bibir lentiknya. Beberapa menit selanjutnya, dia pergi meninggalkanku berdua saja bersama Smith.
Smith, Smith. Aku menggosok-gosokan tanganku pada bulu Smith yang sangat terawat.
Kamu itu anjing Amerika, tapi besar di Indonesia. Ayah dan ibumu juga sudah lama tinggal di Indonesia. Tak usah heran, tak satu pun instruksi berbahasa Inggris mampu kau tangkap. Aku jadi ingat pengalaman tempo lalu. Kamu ingat, kan? Saat itu ada seorang bulai dari Australia menyuruhmu duduk dengan bahasa Inggris. Bukannya duduk, kamu malah berdiri sambil berusaha meraih tangannya untuk sekedar menjilat-jilat.
Tapi kamu beruntung, Smith. Kamu beruntung. Jangankan dari perawakanmu, semenjak ayahmu dibeli dulu dari sebuah toko hewan pun, kamu jelas anjing Amerika. Sungguh anjing Amerika yang besar di Indonesia. Sedangkan aku – majikanmu? Sampai sekarang masih pusing soal identitasku sendiri. Ayahku memang orang Jawa, ibuku orang Bali. Kedua-duanya sama-sama berasal dari suku-suku yang hanya ditemukan di wilayah nusantara. Yang jadi masalah, tampangku ini. Seperti orang Jepang. Cara bicaranya pun sama. Kubertanya pada ayah maupun ibu, jawabannya sama. Aku sama sekali tak memiliki darah Jepang. Kalau begitu, darimanakah asal unsur Jepang yang ada dalam tubuhku ini? Ada asap, pasti ada api.
*****
Di teras rumah, kulihat eyang sedang bercengkerama di atas kursi bambu. Di genggamannya, ada sebuah koran. Sisi-sisinya tampak lecek. Pasti di dalamnya terdapat berita yang menyulut emosinya. Matanya juga nanar.
“Eyang,” sapaku tersenyum.
Singkap itu disibaknya, sehingga pandangannya menjadi wajahku yang oriental, walau tak ada darah oriental sedikitpun.
“Eh Keni, bagaimana jalan-jalannya?”
“Yah begitu, deh, Yang. Oh iya, memang ada berita heboh apa lagi di koran? Korannya sampai lecek begitu.”
“Ini,” Diletakannyalah koran itu ke atas meja. “Eyang sebal dengan pernyataan walikota Osaka itu. Masakan ia bilang sistem jugun ianfu pada masa perang dunia kedua itu sengaja diterapkan untuk menjaga disiplin militer tentara Nippon? Andai eyang putrimu masih hidup dan mendengarnya, sakit dan hancurlah hatinya.”
Kupingku sekejap saja meninggi dari ukuran aslinya. Mengapa almarhumah eyang putri harus sakit dan hancur hatinya? Apakah eyang putri dulu…
“Maksud eyang?”
Eyang kakung sepertinya sadar ia silap kata. Namun apa boleh buat. Nasi lagi-lagi sudah menjelma jadi bubur. Dilambaikannya lengannya untuk mengajakku duduk di kursi samping dirinya yang memang tak bertuan.
“Duduklah,” ujar Eyang. “Sepertinya sudah seyogyanya kamu tahu apa fakta sesungguhnya soal identitasmu. Pasti kamu bingung, kan, kenapa wajah dan logatmu mirip orang Jepang?”
Aku mengangguk seraya bergerak untuk duduk di sampingnya.
“Seperti yang kamu sudah pernah dengar, eyang kakung dan eyang putri sudah dijodohkan semenjak kami berdua masih duduk di sekolah rakyat. Puncaknya, saat remaja, pas sama-sama berusia tujuh belas tahun, pernikahan akan dilangsungkan. Eyang putrimu saat itu juga sedang dipingit. Hanya saja, datanglah sebuah kejadian naas. Ayah dari eyang putrimu pengaruh. Karena jika ia tak punya pengaruh sama sekali, tak mungkin ia berani datang ke rumah buyutmu itu dengan membawa beberapa puluh tentara Nippon. Disebabkan buyutmu tak bisa membayar hutang, eyang putrimu ditangkap sebagai gantinya. Menurut desas-desus yang Eyang dengar, ia hendak dibawa ke barak-barak tentara Nippon yang ada dimana-mana untuk dijadikan jugun ianfu. Eyang langsung panas, terutama saat tahu apa itu jugun ianfu. Itu adalah perempuan penghibur, wanita tuna susila. Kamu pasti juga kesal, kan, saat tahu wanita yang kamu kasihi dirampas orang untuk dijadikan perempuan nakal?”
Aku mengangguk seraya menjaga pikiran tetap fokus pada ceritanya.
“Tapi apa mau dikata, Eyang tak tahu menahu kemanakah eyang putrimu dibawa. Apalagi barak tentara Nippon ada banyak. Di kota ini ada, di kota itu juga ada. Dan bisa jadi juga dibawa ke luar negeri. Jadi Eyang hanya bisa geram dan berharap bisa dipertemukan kembali dengan Eyang putrimu. Soalnya Eyang merasa ada sebuah tautan antara Eyang dengan eyang putrimu itu. Itulah sebabnya, saat ayah Eyang mengenalkan seorang wanita, Eyang tolak dengan alasan akan tetap mencari keberadaan eyang putrimu. Meskipun butuh waktu lima belas tahun, tetap Eyang tunggu. Mungkin karena cinta sejatilah yang membuat Eyang bisa menerima eyang putrimu dan seorang anak laki-laki yang ternyata anaknya. Itulah ayahmu, Ken.”
“Jadi…” Air liurku sempat mengering saat mengucapkannya. Di benakku, aku sudah menangkap bahwa anak laki-laki pasti hasil dari hubungan eyang putri dengan tentara Jepang. Tak bisa dipungkiri, mungkin jua itu hasil gangbang.
“Memang benar yang ada di pikiranmu,” Sepertinya Eyang bisa menebak jalan pikiranku. “Ayahmu, Kenji itu memang ada turunan Jepangnya. Eyang putrimu pernah mencurahkan isi hatinya bahwa ia dipaksa melayani sejumlah tentara Jepang pagi-siang-malam, satu tentara maupun beramai-ramai. Karena itulah, eyang putrimu kebingungan siapa ayah biologisnya. Dan untuk menutupi sejarah kelam tersebut, di akte sengaja tertulis ayahnhya itu Eyang. Kami berdua sepakat merahasiakannya. Apalagi eyang putrimu itu selalu meraung-raung tiap kali harus mengingat peristiwa pahit itu.”
“Eyangmu ini ,” Ia menunjuk-nunjuki dadanya. “Saking cintanya, menerima apa adanya kondisi eyang putrimu itu. Kalau tak cinta, buat apa Eyang menunggu sekian lama sampai bertengkar dengan buyutmu gara-gara status barus eyang putrimu yang kata orang hina-dina? Karena tak kunjung mendapatkan restu, Eyang terpaksa mengambil jalan kawin lari. Kami berdua menikah di Bandung yang bermil-mil jauhnya dari Yogyakarta – tanpa restu.”
Aku terpekur. Tak kusangka. Kukira selama ini, orangtuaku berkata jujur. Kusangka eyang kakung dan eyang putri berkata benar. Mereka selalu berkata, tak memiliki darah Jepang. Nama ayah yang berbau Jepang itu ternyata bukan akronim dari Kendari darimana dia dilahirkan (Kendari itu dikatakan sebagai kota kelahiran ayah). Ternyata nama itu memang sungguh berbau Jepang. Menurut Eyang, Kenji itu merupakan nama pemimpin tentara Jepang yang waktu itu datang ke rumah Eyang putri. Meskipun getir, Eyang putri tetap memberikan nama berbau Jepang untuk ayah: (Raden) Kenji Aoyama (Susilo Khrisnaputera). Diberi nama seperti itu, berharap bisa bertemu dengan pimpinan tersebut atau minimal keturunannya, di saat ayah tumbuh dewasa dan menjadi tenar. Mungkin sekedar pembuktian pada pelakunya atau mungkin juga sekedar aksi-aksian saja. Namun entahlah, Eyang sampai sekarang tak dapat alasan sesungguhnya terkait nama berbau Jepang itu.
Aku sendiri tak mempermasalahkan soal nama ayah itu. Aku malah lebih memikirkan soal asal-usulku yang baru saja kuketahui. Ternyata aku ini orang Jepang juga. Pantas saja, semasa SMA dulu, aku begitu mudahnya belajar bahasa Jepang; kuliah pun mengambil jurusan Sastra Jepang. Aku baru sadar….
…watashi mo nihon jin desu…
-END-
Sumpah, ilustrasinya pas banget. Hebat banget yang milihin ilustrasinya. Gue ampir jarang banget nemu ilustrasi yang ga cocok di aomagz ini. Keep it up
Hehehe