Oleh : Nuel Lubis
Siapa pun pasti sepakat, persahabatan adalah hal terindah di dunia ini. Tak terkecuali untuk enam pelajar SMA Pahlawan Bangsa yang baru saja lulus dua minggu lalu. Keenam pelajar itu adalah Diwang, si Jiwa Petualang; Ristan, seorang anak band yang apatis; Ami, si Calon Ibu Terbaik; Gilbert, si Best-Programmer-Wannabe; Oriana, remaja centil nan manja; dan Nata, si Ceroboh Nomor Satu. Mereka berenam sudah bersahabat sejak masih di kelas 1 SD, dan terus berlanjut hingga akhirnya mereka lulus SMA. Karena itulah, sewaktu di kelas 11, mereka sepakat membuat geng – yang positif tentunya – bernama The Dragons.
Ups, The Dragons-nya itu ada huruf S-nya yah? Ini bukan typo kok. Tapi memang ada tambahan anggota lagi. Satu anggota itu sebetulnya tidak sekelas dengan mereka berenam; dan sudah lulus terlebih dahulu tahun lalu. Yah satu anggota itu adalah kakak kelas mereka, sekaligus kakak kandung dari Gilbert.
Namanya adalah Seven. Iya, Seven. Dia diberikan nama seperti itu karena lahir di tanggal tujuh dan bulan ketujuh. Nama lengkapnya sendiri ialah Seven Marcello Wiguna. Ia sudah lulus dan masuk fakultas kedokteran di universitas ternama di Bandung sana. Ceritanya agak panjang mengapa Seven bisa masuk geng mereka berenam.
Dan keenam remaja tersebut memutuskan untuk menimati saat-saat kebersamaan mereka yang terakhir kalinya. Tak seperti unit-unit sebelumnya, kali ini mau tak mau mereka harus berpencar. Ada alasannya kenapa mereka tak bisa kuliah di tempat yang sama, sama seperti waktu mereka lulus SD ataupun SMP.
Diwang memilih kuliah di fakultas hukum – di salah satu universitas ternama di bilangan Jakarta Selatan. Ristan yang anak band memilih masuk jurusan musik di universitas yang ada di Tangerang; selain dekat, para pengajarnya juga kompeten setelah ia selidiki. Ami terpaksa kuliah di Bandung, karena tak mau memberatkan orangtuanya lagi. Sebetulnya ia harusnya sudah pindah ke Bandung ketika lulus SMP; itu sewaktu ayahnya dipindahtugaskan ke kota kembang tersebut. Namun karena rasa solidaritas dan ketidaksiapannya berpisah dengan keenam sahabatnya itu, ia memilih tetap di Tangerang dan indekos.
Kemudian Gilbert memilih kuliah di Singapura. Setelah tujuh hari tujuh malam berkutat di depan komputer, ia memutuskan untuk kuliah Teknologi Informasi di salah satu universitas yang memang terkenal akan fakultas IT-nya tersebut. Selanjutnya, Oriana masuk sekolah modeling yang ada di kota Paris. Dan terakhir, Nata memilih masuk sekolah perfilman.
Itulah alasan kenapa mereka harus merayakan saat-saat kebersamaan mereka dengan cara berlibur ke sebuah vila yang ada di Puncak. Tak satupun dari mereka yang akan tetap saling bertemu, kecuali Ami dan Seven. Apalagi kelak mereka akan sulit bercengkerama di sebuah kafe atau tempat menarik seperti kebiasaan mereka selama ini. Ingat, ada dua orang yang sekolah di luar Indonesia.
Setelah memutuskan vila mana yang akan mereka kunjungi, jumat sorenya mereka berkumpul. Mereka berkumpul semuanya di rumah Gilbert pada pukul 16.00. Rencananya mereka ke sana dengan menggunakan minibus kepunyaan keluarga Gilbert. Tadinya, Seven mau ikut serta dalam rombongan, tapi berhubung ia sedang ujian- dan itu hari terakhirnya ujian, ia memutuskan menyusulnya besok pagi.
Kurang lebih waktu tempuhnya itu sekitar empat jam. Tanpa sadar, jam sudah menunjukan pukul 20.45. Minibus berwarna biru tua itu sudah berada di depan sebuah vila. Bila itu bergaya gothic dan banyak pepohonan rimbun di dekat pagarnya itu. Alhasil ada kesan menyeramkan dalam vila yang lumayan tua tersebut. Entah sengaja maupun tak sengaja, ada bulan purnama yang letaknya tepat di atas vila itu. Sewaktu Diwang membuka jendela mobil, terdengar suara siul-siulan burung – entah suara burung apa – yang makin menambah keangkeran vila tersebut.
“Bert, lu yakin ini vilanya?” tanya Diwang pada Gilbert yang duduk di belakangnya persis. “Abang lu, si Seven, udah balas belum SMS-nya?”
“SMS-nya masih pending,” keluh Gilbert yang masih memegangi ponselnya. “Tapi sih, gue yakin ini vilanya. Soalnya terakhir kali yang gue dengar, vilanya itu lumayan tua dan banyak pohon di halamannya. Mirip sama vila ini. Apalagi alamatnya juga sama. Jalan Suropati nomor…” Gilbert agak lupa-lupa ingat nomor rumahnya.
“…Enam belas. Yah gue ingat, abang lu itu nyebut nomor enam belas, waktu itu.” Nata yang melanjutkan. “Tuh di papan yang tertempel di pagarnya tertulis angka 16. Yah berarti alamatnya benar, dong.”
Mendengar kata-kata Nata barusan, yang lainnya jadi memicingkan mata melihat papan nomor yang ditunjuk oleh Nata. Untung, Pak Husin – si sopir – belum mematikan mesin mobilnya.
“Benar, kan?” tanya Nata. “Lebih baik juga kita segera turun. Mata gue udah berat nih.”
"Hmm…Oke deh, kita turun saja dulu. Oya, Pak Husin, Pak Bapak jangan turun dulu yah. Kami mau cek ke dalam dulu – benar atau nggak ini vilanya?.”
“Beres, Mas.” ujar Pak Husin nyengir.
Bagaikan pemimpin rombongan, Diwang turun dulu. Lalu menyusul turun Gilbert, Ami, Ristan, Oriana, dan Nata. Mereka berenam beringsut menuju pagar besi yang di ujungnya runcing itu. Pagar itu rupanya tak digembok. Tanpa pikir panjang, mereka masuk ke dalamnya lagi, hingga tak terasa mereka sudah berada di depan sebuah pintu besar. Kali ini puntu besar itu terkunci. Tapi di dekatnya ada bel. Untuk segera bertemu pengurus vila dan segera beristirahat, Diwang yang nyalinya sangat tinggi itu langsung memencet belnya. Mulai terdengar suara decitan pertanda pintu besar itu tiba-tiba terbuka. Karena Diwang sudah masuk lebih dahulu, yang lain jadi menyusul. Namun apes sekali untuk orang yang berada di urutan terakhir. Orang itu bukan Nata yang ceroboh, tapi Gilbert. Lantai yang diinjaknya – yang berada di luar pintu besar – tiba-tiba saja menganga lebar dan menelannya. Sontak saja ia berteriak kaget dan mengejutkan teman-temannya. Mereka semua mundur kembali dan melihat sekujur ubin di luar pintu besar itu sekarang jadi berlubang. Terdapat sebuah pipa dalam lubang besar tersebut dan mengarah ke luar gerbang vila itu.
“Jadi… bagaimana nih? Gue rasa vila ini nggak beres. Kita balik saja ke mobil.” ucap Nata dengan ekspresi ketakutan.
“Balik gimana? Lantai ini saja sudah berlubang. Bagaimana kita keluarnya?” kata Diwang ofensif.
“Terus sekarang bagaimana? Aku takut di sini.” rintih Oriana sambil merapatkan dirinya lebih dekat ke arah teman-temannya. Karena yang paling dekat itu Ami dan Ristan, maka ke sanalah ia merapat.
“Mau bagaimana lagi?! Kita sudah masuk, lebih baik kita masuk saja terus ke dalamnya. Kali saja kita bertemu dengan seseorang, lalu kita tanyakan dia soal maksud dari semua ini.” ujar Ristan yang berwajah dingin.
“Tapi sepertinya lubang pipa ini mengarah ke arah luar pagar, deh. Bagaimana kalau kita keluar saja lewat lubang pipa ini?” kata Ami yang dari tadi mengamati lebih cermat lubang besar di lantai tersebut.
“Jangan bodoh. Kita kan baru pertama kali ke daerah ini. Jadi kita nggak tahu tujuan akhir dari lubang ini. Lebih baik kita masuk saja ke dalamnya. Ada benarnya juga kata-lata Ristan barusan.” tangkis Diwang.
“Yah, kalian berdua benar sih,” kata Ami pasrah.
Tiba-tiba saja Ristan menarik tubuh Nata yang mungkin tanpa sadar nyaris menyenderkan diri ke sebuah guci dan memecahkannya. Nata jadi kaget, karenanya.
“Ada apa sih, cuy, pakai narik-narik tangan gue segala?” tanya Nata bingung.
“Lu hampir saja memecahkan guci itu,” jawab Ristan sambil menunjuk ke arah guci besar dengan ornamen pemandangan sebuah lembah. Samar-sama terdapat kaligrafi Mandarin di permukaannya. “Sepertinya juga, itu guci mahal. Kalau pecah, lu nggak mau kan disuruh menggantinya. Biayanya mungkin saja di atas sepuluh juta. Seratus juta mungkin ada kali.”
Nata mengusap-usap dadanya sambil membuang napas. “Aduh… Makasih yah, Tan, udah selamatin gue.”
Ristan tak berkata apa-apa, selain memberikan sebuah senyuman tipis.
“Teman-teman, daripada terus berdiam diri di sini terus, kita masuk lagi saja terus ke dalamnya. Ayo!” ajak Diwang.
Diwang berjalan lebih dahulu, yang dua menit kemudian, teman-temannya itu menyusul. Mereka terus berjalan masuk ke dalam vila tua nan angker tersebut. Saat sudah seperempat perjalanan menyusuri rumah itu, mereka semua baru sadar satu hal. Semua lampu di dalam vila itu menyala terang, mulai dari mereka masih di luar tadi hingga telah sampai di sebuah ruang makan. Kondisi rumah itu juga lumayan bersih. Tak ada debu, tak ada sarang laba-laba, tak ada suara decitan tikus atau decakan cicak, hingga sama sekali tak ada bau anyir yang menusuk hidung ala rumah-rumah tua. Mereka berenam saling menatap bingung. Tambah bingungnya lagi, hingga sekarang, mereka belum menemukan manusia seorang pun. Sungguh vila tua yang aneh. Lampu dibiarkan menyala; pagar tak digembok, padahal banyak barang-barang luks di dalamnya,; dan kondisi vila yang super bersih – seolah ada yang membersihkannya.
Kini mereka semuanya sudah duduk di sebuah bangku-bangku yang mengitari sebuah meja makan berukuran bundar. Ruang makan itu cukup luas dan luks. Di tengah-tengah meja makan terdapat sebuah tempat lilin yang biasanya digunakan pada saat candlelight dinner.
“Gue jadi ragu, vila ini disewa sama Seven, abangnya Gilbert. Apa iya dia bisa menyewa vila semewah ini?” ucap Diwang skeptis.
Tak ada satupun yang menimpali kata-kata penuh keraguan Diwang barusan. Mereka berempat hanya mengangguk mengiyakan keraguan tersebut. Di saat yang bersamaan, Ristan mengamati Nata yang sedang sibuk sendiri memainkan tempat lilin tersebut. Pria ceroboh itu memainkannya seolah-olah belum pernah melihatnya sebelumnya. Norak sekali!
“Nata, nggak usah norak begitu deh!” seru Ristan. “Kayak belum pernah lihat tempat lilin saja.”
Yang lainnya jadi ikut-ikutan melihat aksi konyol Nata barusan. Diwang, Ami, dan Oriana yang dari tadi memasang ekspresi ketakutan nyengir melihatnya.
“Suka-suka gue. Masalah buat lu? Hah?” tantang Nata. Karena sudah mengenal sejak kecil, Ristan tidaklah mendidih darahnya. Ia hanya tersenyum tipis menatap Nata.
“Mau gue masukin jari gue, urusan gue ini.” lanjut Nata lagi sambil memasukan jari telunjuknya ke salah satu lubangnya.
Tanpa ia sadari, ia malah menekan sebuah tombol kecil di dalamnya, lalu lantai yang mereka tapaki jadi bergetar. Mereka semua jadi histeris, tapi tak ada satupun yang bergerak dari posisi semual. Lebih tepatnya lagi, tak ada satupun yang melarikan diri saat sekujur lantai di bawah meja bundar itu amblas ke dalam tanah dan menyedot mereka semua ke dalamnya. Lubang itu terus menyedot mereka hingga suatu tempat yang tak mereka tahu.Pada akhirnya, mereka mendadak terlempar ke luar gerbang vila itu lagi. Samar-samar terdengar suara yang memanggil mereka.
“Hei kalian, buruan masuk ke dalam.” Rupanya itu suara Gilbert, sewaktu Diwang melihatnya. Diwang-lah orang pertama yang berdiri terlebih dahulu, walau agak kerepotan (Dia masih kesakitan, karena pantatnya terhantam keras ke tanah) .
“Gilbert?” tanya Diwang keheranan. “Sejak kapan lu ada di mobil?”
“Nanti saja gue jelasin. Sekarang yang penting, kalian masuk ke dalam mobil dulu. Tempat ini berbahaya.” desak Gilbert.
Segera saja kelima orang itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam minibus itu lagi. Gilbert segera memerintahkan Pak Husin untuk menyetarternya. Pada saat minibus itu akan menjauhi vila tua nan mewah itu, Gilbert yang duduk di kursi samping sopir itu lalu menjentikan jari jemarinya di hadapan teman-temannya, khususnya di hadapan Ami. Seketika itu juga, teman-temannya itu seperti tersadar dari sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba saja juga, Oriana yang duduk dekat jendela jadi menjerit kencang. Mereka semua melihat ke arah Oriana dan…. vila itu.
Astaga! Masakan vila itu bisa berubah jadi kuburan? Mana kuburan itu diselimuti kabut lagi. Dan kuburan itu juga cukup luas. Setidaknya kuburan itu memakai lima kavling sekaligus dan membuat mereka semua jadi bertanya-tanya. Benarkah vila yang dipesan Seven berlokasi di tempat yang seangker ini?
“Itulah kenapa gue suruh kalian segera masuk ke dalam mobil.” kata Gilbert yang kalut wajahnya. Di saat bersamaan, Pak Husin yang sudah berumur sukses membawa minibus itu mengebut sejauh mungkin menghindari vila itu.
“Tadi waktu gue jatuh ke lubang itu, gue terlempar juga seperti kalian barusan. Waktu gue terlempar itu, ada Pak Husin ini yang lagi lihatin gue sambil merokok dan kebingungan wajahnya.” Ia menunjuk pada Pak Husin. “Seketika itu juga, tiba-tiba saja kami berdua seperti tersadar dan akhirnya menyadari kalau kita semua berada di kuburan, ternyata. Gue dan Pak Husin sempat ngeri melihat kalian yang berjalan-jalan di areal pekuburan itu dan bahkan menginjak-injak makam. Tambah ngerinya lagi, saat Nata hampir menyenggol pocong tadi – atau waktu menarik rambut genderuwo. Buru-buru saja, kami berdua masuk ke dalam mobil dan menunggu kalian keluar. Gue sempat menelepon ke handphone-nya Diwang dulu, tapi nggak ada sinyal. Gue sempat takut kalian nggak bisa keluar dari vila angker itu.”
“Eh abang lu itu mau ngerjain kita yah? Pakai acara ngebawa kita ke tempat ngeri kayak tadi.” kata Diwang dongkol.
“Abang gue nggak salah. Kitanya saja yang salah pengertian. Mungkin kita salah dengar nama jalannya saja; bukan Jalan Suropati nomor 16, tapi Jalan Kenanga nomor 16. Dia barusan kirimin gue SMS, tepat pada saat kalian terlempar keluar. Nih SMS-nya.” Gilbert menunjukan layar ponselnya yang masih terpampang bunyi pesan dari abangnya itu.
*****
Kemudian, setelah mereka berada di sebuah warung nasi goreng, mereka baru tahu satu fakta mengerikan soal vila itu dari orang-orang yang berada di warung nasi goreng tersebut. Jalan Suropati itu sudah dikenal warganya sebagai angker, karena terdapat areal pekuburan. Warga yang tak sengaja melintas di sana seringkali melihat semacam halusinasi. Ada yang melihat vila, ada yang melihat kastil, ada yang melihat wanita cantik, dan ada pula yang melihat sebuah kolam renang. Kalau tak segera sadar, mereka bisa tinggal nama saja. Dan sedikit sekali yang bisa keluar dari halusinasi yang mungkin disebabkan oleh kabut tebal di sekitar ‘vila’ itu. Konon untuk bisa keluar dari halusinasi mengerikan itu, kita harus mengalahkan setidaknya dua setan dan mereka sudah mengalahkan dua secara tak sengaja. Itupun saat mereka sadar berada dalam sebuah kuburan dan di tengah kepungan setan-setan, setelah tersadar akibat suara kencang yang berbeda-beda menurut tiap orang yang melewati pekuburan itu. Kalau saja Nata jadi memecahkan guci itu, mereka semua bisa tersadar sudah berada di tengah kepungan setan dan pasti sulit mengalahkan setan-setan itu. Hingga pada akhirnya, mereka semua hanya jadi penghuni sebuah kolom di koran lokal – setidaknya.
Mereka semua sungguh beruntung bisa keluar dari tempat mengerikan itu. Sungguh manusia-manusia yang beruntung sekali. Mereka semua bingung. Yah, bingung mau senang atau tidak, jadi bagian dari kelompok yang sedikit sekali bisa keluar dari tempat angker itu.
Mereka semua sungguh beruntung bisa keluar dari tempat mengerikan itu. Sungguh manusia-manusia yang beruntung sekali. Mereka semua bingung. Yah, bingung mau senang atau tidak, jadi bagian dari kelompok yang sedikit sekali bisa keluar dari tempat angker itu.
Asli yang nulis ini jago banget yaa genre beginian..
*merinding sendiri*