Oleh : Aminocte
Rin mendesah pelan. Teman-temannya sibuk berfoto di dekat pohon kayu putih yang menjulang tinggi, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu tidak terlalu menyukai berfoto selfie. Ia tidak merasa percaya diri dengan kulit wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari, kontras dengan keempat temannya yang berkulit kuning langsat. Sebenarnya, tidak ada yang mengejek Rin karena hal itu, tetapi rasa rendah diri mencegahnya untuk turut bergabung dengan teman-temannya.
Bosan menunggu, Rin memilih untuk menikmati pemandangan sekitarnya. Sebuah danau kecil yang jernih menarik perhatiannya. Di sekitar danau itu, tidak banyak vegetasi yang tumbuh, bahkan rumput sekalipun. Hanya bebatuan bercampur pasir yang mengisi tepian danau serta beberapa batang kayu yang telah mati. Namun, air danau yang begitu jernih telah membuat Rin terpikat untuk mendekatinya. Gadis itu kemudian berjongkok di tepi danau dan terkesima dengan dasar danau yang bisa terlihat dengan jelas. Sementara itu, permukaan air danau yang bening terlihat berkilau ditimpa sinar matahari, menghasilkan pemandangan yang sungguh sempurna untuk dinikmati olehnya seorang diri.
Beberapa saat kemudian, yang diamati oleh Rin selanjutnya bukan lagi dasar danau, melainkan wajahnya sendiri. Baru kali ini Rin mengamati bayangan wajahnya lekat-lekat. Ternyata, bila dilihat dari dekat, ia tidak buruk rupa. Bahkan, justru terlihat cantik. Ini adalah bayangan tercantik yang pernah dilihatnya seumur hidup melalui cermin manapun.
Rin menyentuh permukaan air danau itu, begitu halus dan lembut. Sama sekali tidak ada lubang-lubang kecil bekas jerawat yang tersebar di area T wajahnya. Merasa belum yakin, Rin membiarkan telapak tangannya menjelajahi setiap permukaan bayangan wajahnya. Astaga, ini seperti mimpi!, pikirnya.
Gadis itu tidak menyadari bahwa ia telah mencintai bayangannya sendiri. Tangannya yang tadi masih berada di atas permukaan air mulai bergerak lebih jauh dan lebih dalam. Bahaya! Akal Rin mengingatkannya untuk berhenti dan menjauh dari danau itu. Namun, nafsu yang berada di dalam dirinya tidak peduli.
“Hentikan!”
Seorang lelaki menarik sweater wol yang dikenakan Rin dari belakang. Gadis itu nyaris jatuh terjengkang. Rin terkejut begitu menyadari sosok lelaki asing yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu berwajah tampan, setidaknya menurut gadis itu. Wajahnya putih kemerahan seperti orang ras Kaukasia, rambutnya ikal kecoklatan jatuh tepat di bawah telinga. Namun, dialek bicaranya sama sekali tidak terdengar seperti orang asing. Gadis itu menepuk-nepuk bagian belakang celananya yang berlumur pasir lembap, kemudian bangkit dari duduknya.
“Apa yang kamu lakukan tadi di sana? Kamu tidak sadar perbuatanmu itu mendatangkan bahaya? Kamu bisa mati tenggelam!”
Rin mendadak bingung. Apa yang ia lakukan tadi? Otaknya buntu, ia tidak bisa mengingat apa pun selain tujuannya berada di sini. Ia harusnya berjalan bersama teman-temannya, tetapi mereka berhenti sebentar untuk berfoto.
“Memangnya apa yang aku lakukan tadi?” tanya Rin sambil menggaruk tengkuknya.
“Kamu sedang mengagumi bayanganmu sendiri di tepian danau sana. Terlambat sedikit saja, bisa saya pastikan kamu sudah jatuh ke dalam air.” Lelaki itu melipat kedua tangannya. “Kamu ini seperti Narcissus saja.”
“Narcissus siapa? Yang kutahu hanya narsis dan narsisme.” Rin membalas dengan nada lugu.
“Dari sanalah kedua kata yang kausebutkan itu berasal. Narcissus adalah salah satu tokoh dalam mitologi Yunani. Ia pemburu dari Thespiae yang berwajah tampan, tetapi dihukum oleh Nemesis. Nemesis menarik Narcissus untuk jatuh cinta pada bayangannya sendiri di sebuah kolam. Akhirnya ia mati tenggelam karena tidak bisa meninggalkan bayangannya itu. Persis seperti yang kamu lakukan tadi.”
Rin mencoba untuk mengajak kepingan memorinya mundur ke beberapa menit lalu, tetapi gagal.
“Tetapi, sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa mengingatnya.”
Seulas senyum tipis menghiasi wajah lelaki itu. “Mungkin itu yang terbaik untukmu. Lain kali hati-hati. Jangan biarkan nafsu menguasai dirimu. Atau kamu akan menyesal selamanya.”
Meskipun terkesan seperti ucapan yang menggurui, Rin sama sekali tidak merasa demikian. Ia menerima nasihat dari lelaki asing itu. Toh, yang dikatakannya kepada Rin memang benar.
“Rin! Kamu ke mana saja?”
Saat ia hendak mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu, suara nyaring memanggilnya dari arah kiri. Tifa, Drea, dan Luna berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Rin. Wajah mereka bertiga terlihat khawatir.
“Aku hanya jalan-jalan sebentar, kok. Memangnya kenapa?”
“Kamu nggak takut sendirian di sini?” tanya Luna. Matanya melirik awas ke segala arah, seolah-olah ada makhluk halus yang bisa mengganggu mereka kapan saja.
“Sendirian?” Rin malah bertanya balik. Ia menoleh ke belakang, mencari sosok lelaki yang menolongnya beberapa saat lalu, tetapi tidak ditemukannya. Lelaki itu menghilang entah ke mana.
“Ini danau angker, Rin. Kamu nggak ingat, ya? Tadi kan sudah diceritakan sama pemandu yang mengantarkan kita ke sini,” jelas Drea perlahan tanpa berusaha untu membuat suasana semakin mencekam. “Dia bilang, kalau mau ke danau ini jangan sendirian dan jangan lama-lama. Kalau perlu minta bantuan dia untuk menemani.”
“Ah, aku nggak percaya sama yang begituan, Dre.”
“Apa katamu, deh, Rin. Yuk, kita balik ke meeting point tadi. Udah jam setengah dua belas, lho,” ujar Tifa mengingatkan. “Nanti kita malah ditinggal lagi.”
Keempat sahabat itu melangkah dalam diam hingga meninggalkan area danau. Rin masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Gadis itu bahkan belum sempat berterima kasih atas pertolongan sang lelaki asing. Apakah ia hantu? Entahlah, Rin yakin bahwa sosok yang dilihatnya tadi terlalu kasat mata untuk digolongkan sebagai makhluk halus. Mungkin lelaki itu kebetulan lewat dan melihatnya berada di dekat danau, lalu menolongnya agar tidak terjerumus dalam bahaya. Ya, itu cukup masuk akal.
Jarak antara danau ke meeting point tidak terlalu jauh, hanya 300 meter. Rute yang harus mereka tempuh pun cukup aman karena dilapisi pavement block dan dilengkapi pagar kayu. Karena itulah para pemandu wisata di tempat ini membiarkan para peserta tur untuk bebas menikmati pemandangan asalkan tidak melanggar peraturan yang berlaku.
Belasan orang telah berkumpul di tempat itu. Dengan mereka berempat, seharusnya sudah cukup atau mungkin hanya perlu menunggu satu atau dua orang lagi.
“… tujuh belas, delapan belas, Sembilan belas, dua puluh. Oke, sudah lengkap, ya? Ada barang yang tinggal? Silakan diperiksa lagi.”
Semua peserta tur serempak menggeleng.
Rin terkesiap. Sang pemandu wisata itu ternyata adalah lelaki yang menolongnya tadi. Gadis itu mengucek matanya tidak percaya. Sementara itu, sosok yang diperhatikan Rin sedang berbincang singkat dengan salah seorang pengunjung.
“Sip. Sekarang, Bapak, Ibu, juga Kakak dan Adik sekalian, silakan menaiki minivan yang sudah kita siapkan. Kita akan menuju area selanjutnya untuk makan siang.”
Saat para peserta tur mulai memasuki minivan, Rin masih mematung di tempat. Matanya menatap pemandu wisata itu lekat-lekat, menunggu kesempatan yang tepat.
“Ada apa?” tanya sang pemandu, menyadari Rin yang memperhatikannya.
“Terima kasih untuk bantuannya. Tadi di danau itu, kamu sudah menolongku. Aku nggak tahu harus berterima kasih dengan cara apa.”
Pemandu wisata itu tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang terawat. “Tidak masalah. Jangan dipikirkan. Saya selalu mengecek danau itu untuk memastikan tidak ada lagi korban yang jatuh setelah insiden belasan tahun yang lalu.”
Rin mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari pemandu itu. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Setelah pembicaraan yang cukup panjang, mereka belum berkenalan.
“Namaku Rin. Kamu?”
“Narcissus,” jawab lelaki itu ringan sambil menunjuk plat nama pada bajunya. “Tadi pas di perjalanan menuju ke sini, saya sudah memperkenalkan diri, lho. Ah, pantas saja, kamu tadi sibuk dengan ponsel, jadi tidak memperhatikan penjelasan saya.”
Gadis itu tersenyum malu. Narcissus. Beruntunglah ia tidak senarsis namanya.
“Tenang saja, meskipun tampan begini, saya tidak narsis seperti Narcissus yang itu. Setidaknya saya tidak mengagumi bayangan sendiri.”
Mendengar ucapannya yang justru terdengar narsis sekaligus menyindir, Rin ingin sekali menceburkan Narcissus ke dalam danau itu. Biar dia jadi legenda sekalian.
-END-
Gue suka sama twist-nya. Sama sekali nggak kepikiran lho endingnya kayak gitu. Yang di pikiran gue malah, ternyata cowok itu makhluk gaib. Hahaha.
Iri
kenapa aku gak bisa bikin cerita misteri
hiks :/